29 - Gedung Tua

6 2 0
                                    

Hai! Aku up lagi, nih. Seneng banget >.<

"Sakit ...."

"Tolong lepasin Mola ...."

"Aww! Udah. Mola gak kuat."

Sekujur tubuhnya terasa perih tatkala seorang pria berkepala gundul itu tak berhenti mencambuk dirinya dengan sebuah pecut. Seragam putih bersihnya kini telah bercampur dengan darah merah segar bersama pasir hitam yang dilemparkan ke badannya. Sakit kepala kian mendera diiringi penglihatan yang mulai berkunang-kunang.

Mola terbatuk-batuk. Berusaha melepaskan diri dari tali yang mengikat erat tubuh mungilnya. Memaksa bersandar pada kursi cokelat yang ia duduki sekarang. Tak ada yang bisa ia lakukan, selain berdoa, mengharap pertolongan kepada Sang Kuasa. Gadis itu menangis dalam diam, menunggu kedatangan sang suami yang tak akan pernah terwujudkan.

"Argghh! Cukup! Ini sakit!"

***

"Raihan, lo liat Mola kagak?" tanya Zevan seraya berlari menghampiri lelaki yang tengah bersandar di papan tulis kelas XII IPA 2. Tangannya bertumpu pada kedua lutut, mengatur deru napas yang semakin terengah-engah. Rasa takut, khawatir, panik, bercampur aduk di dalam pikirannya.

"Gue tadi liat Mola keluar sama Ammara, Van," jawab Raihan dengan raut wajah kebingungan memperhatikan cowok jangkung di hadapannya, seperti sedang mencari orang yang hilang. Kepalanya celingak-celinguk mencari ketiga sahabat Zevan yang biasanya selalu bersama ke mana pun dirinya pergi.

"Si Richal, Ferdi, sama Bang Ed—"

"Halah, lama! Buruan, bantuin gue nyari Mola, Han! Hadoohhh, bini gue!"

Zevan menarik tangan Raihan dan membawanya menuju taman belakang sekolah. Entah mengapa hatinya mengatakan jika Mola berada di sana. Karena setahunya, Mola hanya tahu dan suka tempat itu, apalagi saat mengingat kejadian tadi pagi yang membuat dirinya senyum-senyum sendiri.

"Bini maksud lo gimana?" tanya Raihan sembari menyamakan langkah kaki Zevan yang sangat panjang.

Sungguh, ini sangat melelahkan bagi Raihan yang tingginya hanya sebatas dagu Zevan saja. Atlet basket itu tak menghiraukan pertanyaan lelaki mungil di sampingnya. Pikirannya hanya terfokus pada sang istri yang tak diketahui di mana keberadaannya sekarang.

"Mola gak ada, Han! Gue harus cari ke mana lagi?!"

Zevan menjambak rambutnya frustrasi saat tak menemukan sosok Mola di taman belakang sekolah. Tanpa kenal rasa lelah, cowok berkulit putih bersih itu kembali menarik paksa lengan lawan bicaranya tanpa mengindahkan teriakan Raihan yang minta dilepaskan. Menelisik satu per satu ruang kelas yang mereka lewati. Belum ada sama sekali tanda-tanda Mola muncul di hadapannya.

Sungguh, kenapa saat Zevan panik, otaknya selalu buntu untuk mencari jalan keluar? Semua kelas, ruangan ekskul, ruangan organisasi, sampai toilet wanita pun sudah ia cari. Namun, takdir belum mengizinkan mereka untuk berjumpa. Pikirannya kalut kala mengingat kejadian teror beberapa hari yang lalu. Takut saja jika pelaku teror itu mengincar Mola dan membawanya pergi jauh.

Tidak! Tidak!

Jangan sampai semua itu terjadi. Zevan yakin dirinya tak akan sanggup jika harus melepaskan Mola untuk kedua kalinya. Meluluhkan hati Mola bukan perkara yang gampang, butuh perjuangan yang tulus dan ikhlas untuk memenangkan hati sang kekasih halal. Ia harus berusaha berkali-kali lagi untuk menemukan sang tambatan hati yang kini menghilang.

"Lo harus tenang, Van! Jangan panik kayak gini! Bisa-bisa otak lo gak bisa mikir nantinya!"

Masa bodoh dengan Raihan yang sedari tadi tak berhenti mengoceh. Seutas ide terlintas di pikirannya. Kenapa Mola tidak ditelepon saja? Kan, sudah ia belikan ponsel android satu minggu yang lalu. Nah, benar kata Raihan barusan. Zevan tidak akan bisa berpikir jika keadaan dirinya panik seperti tadi.

"Arghhh! Nomornya gak dihubungi, Han!"

"Lo pinter kok lemot, ya. Lacak lokasinya, dodol!"

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang