Siang hari itu, hujan turun lebat dengan cepat dan kabut tebal menyelimuti pedesaan Ciperak. Nadim dengan sigap membelokkan motornya ke arah kanan, lalu berhenti di sebuah saung. Yura cepat-cepat turun dan berlari ke dalam saung sembari melindungi kepalanya dengan tas, disusul oleh Nadim seusai dia memarkirkan motor.
"Mas Yura, rambutnya basah..." Nadim berkata dengan nada yang cemas dan mengusap-usap rambut Yura untuk menyeka air hujan di sana.
"Hm? Nggak apa-apa, cuma sedikit kok, A'."
"Tetep nggak boleh." tegas Nadim, lalu melanjutkan mengeringkan rambut Yura dengan lengan bajunya, sebisa mungkin.
Nadim tengah menjemput Yura yang sejak tadi pagi bertugas di dusun sebelah, memeriksa seorang nenek-nenek dan beberapa anak kecil yang mengalami gejala demam berdarah. Kepala dusun yang khawatir memohon agar salah satu dokter di Desa Ciperak meluangkan waktu untuk datang dan melakukan pemeriksaan di dusunnya. Untunglah kepala dusun tersebut sigap, sehingga Yura bisa memeriksa mereka secepat mungkin.
Meskipun tidak diinginkan, ada dua anak kecil yang positif terkena demam berdarah. Selain pemeriksaan, Yura pun segera melakukan penyuluhan kecil-kecilan di dusun tersebut. Berkat pemeriksaan dini itu juga, dua anak kecil tersebut segera dikirimkan ke rumah sakit di Sukabumi dan mendapatkan penanganan cepat.
Beberapa menit mereka berteduh di saung kecil tersebut, hujan belum menunjukkan tanda-tanda reda sedikit pun, malah semakin lama semakin deras. Sejauh mata mereka memandang hanya ada kabut yang menebal dan udara yang semakin mendingin. Nadim terbiasa dengan cuaca seperti ini, namun ketika ujung matanya menangkap Yura yang sedang menautkan kedua tangannya, serta mulutnya mengeluarkan asap, barulah dia menyadari bahwa Yura--meskipun sudah beberapa bulan di Ciperak, belum juga terbiasa dengan udara seperti ini.
"E-eh? A' Nadim, jangan dibuka! Dingin!" protes Yura saat menyaksikan Nadim membuka jaket yang dipakainya.
"Mas Yura lebih kedinginan," Nadim menatap sang dokter yang berusaha menghentikan tangannya.
"Nanti gantian Aa' Nadim yang lebih kedinginan," Yura tidak mengerti dengan pemikiran Nadim, dan dia kembali menaikkan resleting jaket Nadim.
Sebenarnya, Yura sedikit menyesal dia tidak membawa jaket hari ini. Habisnya, tadi pagi sinar matahari lumayan cerah! Dia tak mengira tiba-tiba mendung datang dengan cepat dan hujan turun sebegini derasnya.
"Hmm. Kalo gitu, bisa pinjam tangan Mas Yura?" kata Nadim sembari menengadahkan tangannya.
"Buat apa?"
Begitu Yura menyerahkan kedua tangannya kepada Nadim, pria itu meraihnya, lalu menggosok-gosok tangan Yura. Pipi Yura merona merah ketika Nadim meniup tangannya dengan udara panas dari mulutnya, dan menggosok-gosoknya kembali.
"Besok-besok, Mas Yura, nggak boleh lupa bawa jaket," Nadim memasukkan salah satu tangan Yura ke kantong jaketnya.
"Cuaca akhir-akhir ini nggak bisa dikira-kira. Bisa terik banget, terus tiba-tiba hujan deras kayak gini. Aah... Sayuran di kebun bisa-bisa nggak panen tepat waktu..."
Yura menonton Nadim yang sedang mengoceh tentang kekhawatirannya tentang sayuran di kebun yang bisa tidak panen tepat waktu lantaran cuaca yang tak bisa diprediksi. Jujur saja, masih susah dipercaya. Biasanya bagi Yura, dia akan menemukan pria seganteng dan sekeren Nadim di area seperti Jakarta Selatan, sedang mengoceh tentang hal-hal mengenai kesibukan mereka di kantor, spot asyik untuk nongkrong, pengalaman mereka sehabis jalan-jalan di negara lain, hobi mahal mereka, dan hal-hal perkotaan lainnya yang sudah sering Yura dengar.
Tapi, di sinilah Nadim, mengoceh tentang cuaca, sayur-mayur, buah-buahan, tanah yang susah dikelola bila terlalu becek dengan air, dan masalah perkebunannya yang lain. Dan dia bahkan jauh lebih ganteng dari pada cowok-cowok Jakarta Selatan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost and Found
RomanceAku menemukanmu di pojok negeri ini. Dalam pergumulannya untuk menjadi seorang dokter, Yura yang baru saja lulus ujian UKMPPD, mengucapkan Sumpah Dokter-nya dan menyandang gelar "dr.", menerima tawaran magang yang menyebabkannya ditempatkan di ujung...