Dikta berjalan mondar-mandir gelisah, kedua tangannya terkepal erat memegangi tisu yang berwarna merah. Tisu yang berada di kepalannya baru saja ia gunakan untuk menyeka darah Lintang yang tercecer di lantai. Di hadapannya langsung, gadis itu dibanting ke lantai oleh seorang pria kekar. Wajahnya mendarat duluan ke lantai.
Belum ada sepuluh menit yang lalu, Lintang yang lemas diseret keluar oleh pria itu, yang dipimpin oleh kakaknya sendiri, Nilam. Mereka melewati Dikta yang berdiri kaku di ambang pintu. Dikta tak mengenal keluarga Lintang sama sekali, dia sendiri saja baru mengenal Lintang. Lidahnya benar-benar kelu untuk mencegah Nilam membawa adiknya.
Pria itu duduk di sofa ruang tengah dengan kedua tangannya yang tertaut, memutar otaknya namun berusaha untuk tetap tenang. Apakah dia harus pergi sendiri ke tempat itu tanpa Lintang? Atau dia harus menyusul Lintang?
Rasanya belum telat untuk menyusul Lintang. Dia bisa saja pergi ke Artha atau Ithacha untuk menanyakan beberapa informasi soal keluarga Lintang, atau pergi menemui Rico karena dia sudah tahu info kontaknya. Tetapi, melihat Nilam yang tega membiarkan 'algojo'-nya membanting Lintang dengan wajah duluan ke lantai, entah apa yang akan dihadapi oleh Dikta.
Di tengah-tengah kelarutan pikirannya, Dikta dikejutkan dengan suara password yang sedang dimasukkan dari pintu unit. Dengan refleks tubuhnya seolah-olah melompat dari sofa, lalu pria itu berlari ke arah pintu. Dikta benar-benar berharap itu Lintang, entah dia kabur atau bagaimana, ia pun meraih gagang pintu sebelum berhasil dibuka dari luar, namun...
Bukan Lintang yang membuka pintu tersebut.
Seorang pria dengan single-breasted coat khas pilot yang terengah-engah dan pucat pasi, dengan satu lagi pria yang dikenal Dikta di belakangnya. Rico, yang sama pucat pasinya, dan keringat mengaliri pelipisnya.
"Mas Hiram, ini Pak Dikta. Dokter dari Ciperak yang saya ceritain tadi..." ucap Rico sembari mengatur nafasnya.
Mata Hiram yang terbuka lebar menatap horor Dikta. "N-Nilam...", suaranya pun gemetar.
"Tadi, Nilam ke sini?"
"Mana Lintang sekarang?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Angin selalu berhembus kencang siang dan malam di area pesisir. Malam itu tak terkecuali. Yura mengeratkan restleting jaket di daerah lehernya ketika ia dan Raihan melangkah keluar dari sebuah mobil yang dikemudikan oleh seorang pria asing. Memakai masker hitam, dan sama sekali tidak mengeluarkan sebuah suara selama perjalanannya menuju Marina Ancol. Mereka disambut oleh terpaan angin malam pesisir yang cukup dingin.
Raihan menepati janjinya. Dia akan membawanya menuju Nadim malam ini, meskipun siangnya mereka harus adu mulut terlebih dahulu.
.
"Kalo kamu nggak mau bawa saya ke Nadim pagi ini, kita harus ke rumah sakit, SEKARANG JUGA!" bentak Yura di samping Raihan yang sedang mencuci piring bekas sarapan mereka.
"Gua udah bilang, GUA GAK AKAN KE RUMAH SAKIT!" balas Raihan, sama keras kepalanya. "Dan lo kira segampang itu buat ke tempat mereka, hah? Bisa sekarang juga ke tempat mereka, gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost and Found
RomanceAku menemukanmu di pojok negeri ini. Dalam pergumulannya untuk menjadi seorang dokter, Yura yang baru saja lulus ujian UKMPPD, mengucapkan Sumpah Dokter-nya dan menyandang gelar "dr.", menerima tawaran magang yang menyebabkannya ditempatkan di ujung...