11 - Redamancy

2.1K 163 8
                                    

Gerimis-gerimis yang telah turun dari subuh semakin deras dan telah berubah menjadi hujan. Yura dan Azka duduk lesehan di teras yang berada di samping rumah Nadim, di atas lantai kayu yang rasanya dingin. Sementara itu, Nadim berada di dapur, tengah menyediakan kopi dan snack untuk mereka.

Sejauh yang Yura rasakan, Azka berkepribadian hangat--dan caranya berbicara pun memiliki kesan ceria. Suaranya lembut dan menyenangkan didengar, serta naik-turun dengan khas. Entah kenapa Yura langsung senang sekali mendengar Azka berbicara.

"H-hah?! Kak Azka udah kepala empat?!" pekik Yura, hampir tak percaya seusai Azka bercerita tentang umurnya.

"Ssh, bukan. Tahun depan." Azka terkekeh-kekeh.

Yura masih melongo kaget. Yah, nggak begitu mengejutkan sih, karena Nadim pun dua puluh tujuh tahun ini. Yang membuat Yura kaget itu Azka tidak terlihat seperti mau menginjak empat puluh tahun, kecuali garis-garis yang teramat halus di sudut-sudut mata dan bibirnya. Didukung dengan postur tubuhnya yang mirip seperti Rizal, kurus dan tinggi. 

Nadim datang dengan nampan berisi mug kopi dan snack berupa biskuit-biskuit di sebuah piring. Nadim meletakkannya di tengah-tengah Yura dan Azka. Azka tersenyum lebar begitu nampan tersebut diletakkan. "Makasih, Nadim! Tau aja dingin-dingin begini enaknya minum kopi,"

"Mmm. Hati-hati, masih panas."

Memang kopi itu terlihat masih mengepul dengan uap. Yura melihat nampan itu, hanya ada dua mug kopi di sana. Nadim menegakkan kembali tubuhnya dan berjalan ke dalam rumah lagi.

"Aa' Nadim mau kemana?" tanya Yura.

"Ke dapur, saya mau masak,"

"O-oh! Saya bantuin, ya!" 

"Eeh? Mas Yura mau pergi?" ucap Azka ketika Yura hendak beranjak dari teras tersebut. "Nadim udah biasa masak sendiri. Ngobrol-ngobrol aja di sini, temenin saya,"

"Tapi..." Yura bergantian melihat ke Azka dan Nadim, yang dua-duanya memandang ke arahnya.

"Nggak apa-apa, Mas Yura. Saya masaknya nggak banyak, kok. Soalnya Bapak nggak jadi dateng," sahut Nadim.

Yura pun mengangguk kecil, "O-oke deh..." 

"Kalo mau dibantuin, bilang aja ya! Jangan segen." kata Yura setengah memekik kepada Nadim, sang dokter kembali duduk di samping Azka. 

Nadim tersenyum dan mengangguk. Meskipun begitu, sebelum dia benar-benar kembali berjalan ke dapur, Nadim melihat ke arah Yura sekali lagi--yang sudah mengobrol asik lagi bersama Azka.

"Aaah, saya udah lama nggak ke sini." kata Azka. Dia menyesap kopinya sembari menyandarkan punggung ke tiang rumah.

"O-oh ya... Kak Azka lahir di Ciperak?" tanya Yura.

"Hm? Nggak, saya lahir di Bandung. Yang lahir di Ciperak itu adik saya yang satunya lagi. Perempuan."

"Oooh, kalian bertiga ya?"

"Iyap, bener. Kita bertiga."

Mungkin keputusannya untuk tetap bersama Azka daripada ikut Nadim ke dapur itu lebih baik. Yura baru terpikirkan soal ini sekarang. Azka pasti tahu banyak tentang Nadim, mungkin Yura bisa mengorek sedikit demi sedikit tentang Nadim.

Keduanya mengobrol dengan asik, dan Azka menjawab tiap pertanyaan Yura soal Nadim. 

"Nadim itu emang begitu orangnya. Orang lain yang nggak ngerti pasti nganggep dia aneh. Gimana ya... Susah deh, kalo mau jelasin kepribadian Nadim."

Yura mengangguk-angguk cepat lantaran dia sangat setuju. Benar sekali. Sepertinya Nadim-lah manusia pertama yang ditemui Yura, yang paling sulit dijelaskan kepribadiannya. 

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang