"Permisi ya, Mas Yura."
"I-iya, A'."
Yura menutup setengah wajahnya dengan selimut ketika Nadim merangkak ke atas tempat tidur, kemudian merebahkan diri di sisinya. Setelah merebahkan tubuhnya, terdengar suara hembusan nafas lega dari pria itu.
"Mas Yura," kata Nadim, lalu menghadapkan kepalanya ke arah Yura yang mukanya masih merah padam--tetapi tidak terlalu kelihatan karena gelap.
"Saya kalo tidur nggak pakai baju atasan. Mas Yura nggak apa-apa, kan? Maaf saya baru nanyanya sekarang,"
"Ng-nggak apa-apa kok, A'. Sekalian senam jantung buat saya,"
"Hm?" Nadim--dengan wajah tanpa dosanya, memiringkan kepala dan tersenyum pada Yura.
"Daripada itu A' Nadim, saya mau minta maaf..." ucap Yura, usai akhirnya selesai mengumpulkan keberanian diri untuk minta maaf kepada Nadim.
"Mas Yura salah apa?"
"... S-soal Kep Mathias kemarin. Maafin kita ya, A'. Padahal Aa' udah baik banget sama saya, w-walaupun Aa tau kalo saya suka laki-laki juga... Tapi dia nggak sopan banget kemarin sama Aa'." Yura berkata demikian, meskipun suaranya sedikit gemetar. Dia agak takut dengan reaksi Nadim.
Ada jeda sebentar di antara mereka. Hening yang diisi dengan suara hujan deras di luar dan gemericik keras butiran air yang jatuh.
Nadim pun mangut-mangut, "Oh, soal itu."
"Saya juga ada salah kok, sama Pak Kapt--sama Pak Mathias. Saya juga bikin dia kesal."
"Padahal cuma karena soal panggilan doang. Harusnya dia nggak usah se-lebay itu," sahut Yura yang mulutnya agak mengerucut karena kesal.
"Pak Mathias berasa diledek sama saya Mas, makanya dia kesal."
"Y-ya iya sih, tapi kan, anggap aja bercanda, gitu! Lagian 'kan Aa' nggak ada maksud ngerendahin waktu manggil dia Pak Kapten Pilot."
Sembari masih tersenyum, Nadim mengedikkan bahu. Meskipun kesal sampai bibirnya mengerucut, ketika Yura melihat senyum Nadim, senyumnya ikut mengembang. Kamar ini memang tengah gelap, tapi mata Yura dan Nadim sudah terbiasa sehingga keduanya bisa saling melihat satu sama lain meskipun samar-samar.
"Tapi, Pak Mathias emang keren banget. Datang ke sini pakai pesawat; terbang sendiri. Tinggi, ganteng, profesinya keren," kata Nadim.
"Saya sih, merasa nggak ada apa-apanya dibanding Pak Mathias, Mas."
Pernyataan Nadim langsung membuat Yura membelalakkan mata. "Ja-jangan ngerasa begitu, A'," protesnya.
"Dibanding Pak Mathias, saya cuma tukang kebun, yang hampir tiap hari dekil dan bajunya kotor." Nadim memiringkan tubuhnya ke arah Yura, masih tetap tersenyum.
"Ih. Nggak gitu ah, A'. Jangan bilang kayak gitu..." kata Yura yang alisnya sudah saling tertaut.
"Lagian, Aa' 'kan mau warisin usahanya Pak Rizal. Nih, Aa' Nadim itu bos, kalau Kep cuma pekerja! Emang kenapa kalau tukang kebun juga? Aa' nggak lebih rendah daripada Kep, tau."
Yura menggigit bibir bawahnya sekilas, "... Aa' juga nggak dekil, kok. Nggak kalah ganteng dari Kep. Aa' kan juga tinggi, badannya juga bagus."
"Oh ya?" Wajah Nadim menjadi cerah setelah Yura berkata demikian.
"Iya, apalagi, mata ini..."
"... Indah."
Tanpa Yura sepenuhnya sadari, dia mengulur lengan untuk meraih pelipis Nadim dan mengusap area sekitar matanya dengan lembut. Yura mengagumi sepasang mata indah tersebut, yang sebening kaca dan irisnya mengingatkan Yura pada tembaga di bagian dalam dekat pupil, sedangkan bagian terluarnya yang berwarna kehijauan seperti hutan di Ciperak pada pagi hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost and Found
RomanceAku menemukanmu di pojok negeri ini. Dalam pergumulannya untuk menjadi seorang dokter, Yura yang baru saja lulus ujian UKMPPD, mengucapkan Sumpah Dokter-nya dan menyandang gelar "dr.", menerima tawaran magang yang menyebabkannya ditempatkan di ujung...