23 - Impediment

844 90 9
                                    


"SAY WHAT?!!" Lintang menjerit, jari-jarinya yang sedang mengaplikasikan cream La Mer terhenti seketika, kemudian ia mengecilkan suara televisi di kamarnya.

"Nadim nelpon lo?!"

"Terus, sekarang lo di mana?"

"Di ESNAWAN?! Lo ngapain di sana?"

"Haaah?! Lagian, kayak nggak ada kerjaan aja nganterin itu orang ke sana, emang dia nggak bisa pulang sendiri?! Oke, Yura, sekarang lo tenang dulu. Cepetan pulang, abis ini gue langsung kasih tau Pak Dikta. Hati-hati di jalan."

Lintang melempar ponselnya ke kasur dan beringsut keluar kamarnya. Jantungnya berdegup cepat. Ia baru saja menerima kabar dari Yura bahwa Nadim baru saja menelpon sahabatnya itu. Seharusnya itu kabar yang bagus, karena setidaknya mereka mendapat serpihan tentang Nadim, namun entah kenapa... Firasat Lintang mengatakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak enak. Semuanya terlalu aneh, setidaknya menurut Lintang.

Ia berharap firasatnya tidak benar.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sang dokter berhasil berdiri kembali kendati demikian lututnya yang masih terasa lemas. Ia menggigiti kukunya sembari dengan panik mengetik kata-kata di WhatsApp dengan teramat cemas, berkali-kali mengirimkan pesan kepada Nadim untuk menelponnya lagi. Yura tidak segera memesan Grab car-nya untuk langsung pulang, ia terlalu berharap supaya Nadim menghubunginya lagi, setidaknya sebuah respon. 

Namun, nihil. Setelah sambungan telpon dimatikan secara sepihak oleh Nadim, pria itu tidak merespon Yura barang sekali pun.

"Ngh!"

Yura secara refleks menutup telinganya lantaran sebuah pesawat besar lepas landas, suaranya keras dan dekat. RSAU Esnawan Antariksa berada sangat dekat dengan jalur landasan pesawat bandara dan pangkalan udara Halim Perdanakusuma. Mungkin ketika kondisi Yura sedang normal, dia tak akan sekaget itu, sampai ponsel yang digenggamnya jatuh. Yura membungkuk untuk mengambil ponselnya.

Tetapi, ketika ia hendak berdiri kembali, perasaan sedih dan tak berdaya yang teramat dalam menyeruak di dadanya. Tubuhnya terasa sangat berat.

"... Nadim..." gumam Yura.

Malam itu begitu sepi, entah kenapa. Yura memeluk lututnya ditemani lampu jalan yang menyala temaram dan suara pesawat yang amat bising, ia berada di sisi jalan yang gelap. Sendirian, Yura menangis pelan sambil meringkuk erat. Yura tak tahu apa yang harus dilakukannya setelah menerima telpon Nadim, ia merasa tak bisa mengetahui keberadaan Nadim. Meskipun Rizal sudah memberi sebuah alamat, rasanya Yura hampir tidak percaya kalau semudah itu ia akan bertemu Nadim lagi.

"...!"

"... Ss...!"

"... Ssst!"

Ketika bising pesawat yang telah lepas landas perlahan-lahan menghilang, Yura mendengar suara lainnya yang terdengar sedikit ... aneh. Ia tak langsung mengangkat kepalanya, Yura membuka matanya terlebih dahulu, tetapi suara itu kembali terdengar.

"Ssst!"

Dan kali ini, rasanya semakin terdengar kencang.

Yura mengangkat kepalanya, ia mengernyit tatkala matanya menangkap sebuah figur, tepat di sebrang jalan. Dengan matanya yang sedikit basah, Yura memincing supaya dapat melihat figur itu lebih jelas. Tidak ada orang lain di kanan-kirinya, membuat Yura yakin orang itu-lah yang sedang berusaha mendapatkan perhatiannya.

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang