21 - Precipitous

1K 121 22
                                    

Yura menarik lengan Dikta masuk ke ruangan staf, lalu menyuruh dokter seniornya itu duduk. Meski sebelumnya Dikta mengguncang-guncangkan lengannya lantaran bingung ada apa dengan sang dokter magang, Dikta tetap patuh, dia duduk di sofa sesuai keinginan Yura.

"Pak Dikta, jangan biarin Dinkes bawa saya pulang!" Yura menggebrak meja kopi di depannya. "Saya--saya belum boleh pulang! Nadim masih belum--"

"Ra, tenang dulu."

"Please Pak!!" jeritnya.

"Yura, saya tanya, emang kalo kamu terus-terusan di sini juga, kamu bakal ketemu Nadim?"

"Ya--ya, ng-nggak sih... Tapi kan seenggaknya--"

"Kamu stay atau nggak di Ciperak, Nadim nggak akan tau! Kamu ngerti itu nggak?"

Terlihat sekali bahwa pikiran sang dokter muda tidak dalam keadaan jernih. Begitu nada Dikta meninggi, Yura langsung tersenyap, namun tatapan matanya yang kosong beredar kemana-mana seolah ia seperti kehilangan arah. Dikta pun menghela nafas dalam-dalam.

"... Maafin saya, ini semua salah saya," ucap Dikta pelan. "Semua karena saya telat ke Bojongasih buat menyelamatkan anak itu. Sampai-sampai tadi saya juga kepikiran, kalau reaksi Karim bisa dianggap wajar. Siapa juga yang masih bisa waras kalau anaknya meninggal karena ada dokter yang nggak becus. Maaf, kamu jadi ikut menanggung bebannya, Yura."

"Saya supervisor kamu di sini. Kamu nggak seharusnya ada di dalam kondisi seperti ini."

Sepertinya Yura tidak mendengarkan Dikta. Pemuda itu terduduk di lantai sambil memeluk kedua kakinya, ia sembunyikan wajahnya, namun Dikta bisa langsung tahu kalau Yura sedang menangis. Sang dokter senior membaringkan badannya ke sofa lantaran tiba-tiba kepalanya terasa berat dan luka di pelipisnya seperti kembali nyut-nyutan.

"... Saya--heuk, saya buang pilot ganteng demi Aa' Nadim... hiks..." Yura akhirnya bersuara setelah beberapa menit mereka berdua terdiam.

"Heh?"

Dikta mengernyitkan dahi, tapi tak sampai hitungan detik, dia tahu siapa yang dimaksud Yura. Ya mana mungkin dia lupa si pilot ganteng yang mengantarkan anak magangnya dengan pesawat sih? Delapan bulan lalu di airstrip Ciperak.

"Oh..."

"Tapi saya nggak bahagia sama pilot itu--heuk! Saya bahagia banget sama Aa' Nadimmm..." lanjutnya.

"HUAAA! Saya sayang banget sama Nadim!!!"

Dikta refleks langsung bangun begitu Yura menjerit demikian. Tak disangka-sangka lelaki yang biasanya kalem--bahkan ketika menghadapi pasien pasangan tua yang marah-marah di ruangannya,  bisa menjerit seperti itu. 

"Y-ya ampun! Iya, iya! Nanti kita cari Nadim, ya!" Dikta kalang kabut menenangkan Yura.

BRAK! Saat Yura masih terisak-isak, pintu ruangan staf terbanting kencang dari luar. Alamak, Dikta berharap dia masih belum siuman saja kalau dia tahu keadaan hari ini bakal seperti demikian. Yang muncul di ambang pintu adalah Lintang. Dikta mengenal gadis jangkung berambut panjang itu--yang melompat dari helikopter tadi.

"E-e-eh, maaf, Pak... Saya kira cuma ada Yura di sini--YA AMPUN, YURA! Lo ngapain ingsrek-ingsrekan di sini, sih?! Orang-orang pada nyariin lo di luar!"

"Hiks... Lintaaaang! Gue nggak bisa pulang ke Jakarta!"

"HAH?! TERUS?! Nanti yang bakal ditanya-tanyain sama polisi dan Dinkes siapa?! Nenek moyang lo?!"

"Gue nggak bisaaaa... Nadim belom pulang..."

"YURA! Jangan bilang lo punya masalah lain yang gak gue tau lebih dari ini, anjing?!"

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang