Ranjang rumah sakit berdecit ketika Nadim memaksakan dirinya untuk naik, menindih Yura yang sedang panik lantaran ia seolah-olah sedang diterkam harimau besar."Ah! Ahh! Aa' Nadim!"
"Mas Yura... Mas Yura, Mas Yura, Mas Yura, Mas Yu--"
"Aa' Nadim! Itu darahnya naik ke infus!" jerit Yura sembari berusaha meraih infus Nadim untuk dibetulkan, namun Nadim tidak mengindahkan peringatan sang pacar. Ia malah menghentakkan tangannya lalu mencabut infusnya, yang membuat Yura menjerit semakin keras.
"Mas Yura, saya minta maaf, Mas... Waktu itu saya sadar, saya dengar sebagian besar--semua yang Mas Yura katakan, tapi badan saya nggak bisa gerak..." Nadim mengelus pelan pelipis Yura lalu menatap wajah Yura yang masih terdapat beberapa lebam, semua ulah Raihan. Yura pun membalas belaian lembut Nadim, karena pria itu juga memiliki beberapa lebam di wajahnya.
Mungkin, ini adalah pertama kalinya Nadim menangis sedekat ini dengan Yura. Nadim meringkuk di samping Yura, kepalanya berada di atas bahu sang kekasih, dan lantaran itu Yura merasakan bahunya semakin basah seiring ia merasakan Nadim kesulitan mengatur nafasnya yang sesegukan.
"A' Nadim... Seharusnya aku yang minta maaf," bisik Yura perlahan.
"... Aku nggak tau A' Nadim nanggung seberat ini. Kenapa A' Nadim nggak kasih tau aku? Siapa tau aku bisa bantu."
Nadim mengangkat kepala sehingga wajahnya terlihat oleh Yura. Matanya basah, dan air mata yang meleleh segera ia hapus dengan tangannya cepat-cepat.
Yura menelusupkan jari-jemarinya ke helaian rambut pria itu, dan mata hazel Nadim yang masih terlihat sendu kemudian terpejam dalam untuk merasakan sentuhan tangan Yura. Sinar cahaya matahari yang masih hangat menembus jendela kaca ruangan rumah sakit itu, menerangi wajah tampan Nadim, dan membuat bulu matanya yang lebat menjadi seperti kipas mini. Yura rindu sekali dengan wajah ini. Walaupun rambut-rambut di dagu Nadim mulai terasa kasar, menurut Yura tidak sama sekali mengurangi ketampanannya.
Ranjang untuk pasien ini terlalu sempit untuk Yura dan tubuh besar Nadim, tetapi tidak menghentikan Nadim untuk mendekap erat tubuh sang dokter, seolah-olah kalau ia lepas barang sedetik saja, Yura akan lenyap dari pandangannya.
Sembari memeluk sang pacar, Nadim menceritakan apa saja yang terjadi selama Yura tak sadarkan diri. Seperti Nadim sedia kala, kalimatnya sederhana, pendek-pendek, dan lugas. Namun, Yura yang sedang susah berpikir malah senang karena cerita Nadim jadi gampang dimengerti.
.
.
"Azka jatuh ke lantai karena saya lempar. Saya kelepasan sama Raihan, lukanya yang udah susah-susah dirapihin sama Mas Yura jadi kebuka lagi. Mas Yura pingsan, saya bawa Mas Yura di tangan, tiba-tiba Mbak Lintang, Pak Dikta, Mas Rico sudah ada di pantai. Terus, banyak suara tembakan. Mas Rico, nembaknya hebat. Kita semua naik kapal, di kapal ada Mas Ezra. Raihan dioperasi kecil sama Mbak Lintang, Azka diobatin sama Pak Dikta. Kapalnya besar, mewah."
"Ah, terus..."
"Saya sedih Mas Yura nggak lihat lumba-lumba. Mungkin laut Jakarta udah lumayan bersih. Pagi-paginya, waktu matahari masih secuil, ada lumba-lumba yang ikut berenang di dekat kapal."
"Oh..."
"Mbak Lintang ngasih tau di mana saya bisa ketemu Ibu. Raihan sama Azka juga nggak akan dilaporin polisi."
.
.
Keduanya bercumbu penuh gairah setelah Nadim selesai merekap hampir semua yang telah terjadi untuk Yura. Kali ini, mereka berhadapan sembari memeluk satu sama lain. Tangan Nadim mengusap-usap pinggul Yura dan yang satunya menelusup ke dalam piyama yang sang dokter pakai, sedangkan lengan Yura mengalungi leher Nadim dengan manja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost and Found
RomanceAku menemukanmu di pojok negeri ini. Dalam pergumulannya untuk menjadi seorang dokter, Yura yang baru saja lulus ujian UKMPPD, mengucapkan Sumpah Dokter-nya dan menyandang gelar "dr.", menerima tawaran magang yang menyebabkannya ditempatkan di ujung...