Berat rasanya hati Yura ketika ia memandang ke luar jendela helikopter, ke arah pedesaan, hutan-hutan lebat, dan rumah-rumah yang jaraknya berjauh-jauhan di bawah. Pagi ini, ketika matahari masih malu-malu memancarkan sinarnya, Yura benar-benar pergi dari Ciperak.
"Heheh, yang tadi maaf ya, Pak Dikta, Yura. Rico emang agak kasar, udah bawaan." Lintang menengokkan kepalanya dari kursi kopilot sambil cengengesan.
Jadi, saat hendak take-off tadi, Rico melakukannya dengan terlalu cepat sehingga mereka bertiga serasa seperti menaiki lift yang amat cepat. Yura terkekeh-kekeh kecil melihat Lintang yang memukul bahu Rico karena kesal, tapi perhatiannya segera teralihkan kepada Dikta yang sedari tadi terdiam. Wajahnya gelisah sekali.
Dikta terdiam sejak Rizal mendatangi halaman belakang balai desa, untuk memberi tahu Dikta bahwa supaya jangan sampai terkena jebakan Azka. Azka dan Nadim tidak ada di Bandung.
Semua hal tentang pengurusan asuransi tenaga kerja itu bohong. Rizal sudah mengurusnya lebih dulu daripada mereka.
Mendengar Rizal berkata demikian, tentu saja membuat jantung Yura mencelus dalam. Apa itu berarti Nadim berbohong kepadanya soal mengurus asuransi pekerja? Atau Nadim juga jatuh dalam perangkap Azka?
Rizal tidak berlama-lama di sana, karena dia harus pergi ke Pelabuhan Ratu. Segera setelah menyampaikan informasi itu, Rizal langsung pergi lagi, meninggalkan tanda tanya besar pada Yura dan Dikta, dan...
Secarik kertas kecil di genggaman Dikta, yang berisikan sebuah alamat.
Katanya, Nadim ada di Jakarta.
Baling-baling helikopter menderu kencang di atas mereka seiring burung besi tersebut menyusuri ruas-ruas langit yang menuntun mereka ke Jakarta. Yura tidak menyangka akan melihat pemandangan aerial ini lagi, ia pikir pengalamannya naik pesawat ke Ciperak bersama Mathias dulu akan menjadi yang pertama dan terakhir kalinya, namun ternyata tidak, ia benar-benar terbang lagi untuk pulang menuju Jakarta."Yura, Nadim ada di Jakarta," kata Dikta, begitu mereka sudah sampai di langit sekitar daerah Bagbagan, sembari ia menyerahkan secarik kertas berisikan sebuah alamat yang sedari tadi digenggamnya erat kepada Yura. "Ini alamat apartemen Azka. Pak Rizal tau Azka bohong. Kita nggak tau pasti, tapi kemungkinan besar Azka, Nadim, atau... Raihan juga, ada di sini."
Yura membaca alamat tersebut. Well, yang pertama Yura langsung tahu adalah itu merupakan kondominium yang cukup bergengsi di sekitar Jakarta Barat.
"... Azka punya tumor," lanjut Dikta tanpa memandang Yura. Pria itu melemparkan pandangannya ke luar jendela helikopter.
"Tumor jinak di otaknya, sudah bertahun-tahun. Perilaku dan mentalnya jadi sedikt terganggu. Kamu pasti tau tumor jinak, Yura. Nggak keliatan di penampilannya, tapi survival rate di umur Azka yang sekarang cuma 50%. Nadim tau umur Azka nggak akan panjang seperti orang-orang pada biasanya."
Keempat orang yang berada di heli tersebut memakai headset supaya mereka dapat meredam berisiknya suara baling-baling, dan headset tersebut tersambung ke intercom, sehingga satu percakapan bisa terdengar oleh seluruh orang yang memakai. Yura tertunduk, sedangkan Langit yang berada di seat kopilot terdiam, namun tampak mendengarkan.
"Tapi, bukan berarti kelakuan bejatnya bisa ditoleransi, kan?" Lintang akhirnya membuka mulut. "Kita nggak bisa excuse kelakuannya karena dia punya tumor."
Dikta menghela nafas. "Nggak, dan saya pun nggak bermaksud berkata itu supaya kita bisa toleransi kelakuan Azka terhadap Nadim, tapi saya rasa Yura, dan juga Lintang harus tau. "
Lintang hanya menghela nafas dan menatap jauh ke luar jendela. Ia memikirkan bagaimana caranya untuk menyelesaikan semua tetek bengek ini; masalah Nadim, maupun masalah yang akan dihadapi Dikta dan Yura di Jakarta dengan pihak polisi dan Dinas Kesehatan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lost and Found
RomanceAku menemukanmu di pojok negeri ini. Dalam pergumulannya untuk menjadi seorang dokter, Yura yang baru saja lulus ujian UKMPPD, mengucapkan Sumpah Dokter-nya dan menyandang gelar "dr.", menerima tawaran magang yang menyebabkannya ditempatkan di ujung...