28 - Adrift

890 71 3
                                        



"Astaga, sumpah, RICO! Kalo lo ga sengaja bunuh orang lagi gua males banget ngurusinnya ke pengadilan, ya! Lo tuh bukan tentara bayaran lagi, tau gak! LO UDAH GAK BOLEH BUNUH ORA--"

DUAR!!

"AAHHH!!"

"Tuh, kan. Mbak Lintang anteng dulu sedikit, bisa?"

DUAR!!

Lintang dan Nadim spontan menutup telinga mereka ketika Rico melepaskan sebuah tembakan lagi. Sementara itu Dikta masih terlihat tenang, sepertinya buah pengalamannya menjadi dokter lapangan di bagian timur Indonesia ter-refleksi di kondisi seperti ini.

"Yura dehidrasi dan syok, tapi kondisinya lumayan baik-baik aja. Kita harus segera balik ke kapal..." ucap Dikta sembari membungkus Yura lagi dengan selimut, nada suaranya sangat khawatir. "Pak Rico bisa antar kita semua balik ke kapal?"

Rico terdiam selama beberapa saat, Lintang dan Nadim menatapnya harap-harap cemas, kemudian pria itu menarik senjatanya. "Bisa. Yang megang senjata terkapar jatuh di tangga pondok, ada satu orang lagi di samping dia. Mas Nadim kenal?"

"Ya ampun!! Lo bener-bener kenain dia, Ric?!" protes Lintang.

"Nggak, Mbak Lintang. Entah kenapa yang pegang senjata tiba-tiba jatuh, terus disusul sama yang satunya lagi. Sepenglihatan saya begitu."

"I-itu, Raihan sama Azka,", mata Nadim membulat lebar dan ia langsung mengalihkan kepalanya ke arah Dikta. Hati Dikta seketika mencelus ketika ia mendengar nama Azka. "Raihan punya luka besar di perutnya, buat kabur tadi, sa-saya nyerang luka itu... Kayaknya cukup bikin Raihan kesakitan..."

"Well then, let's go! Mumpung yang nembakin lagi terkapar!" Lintang berdiri dari posisi merunduknya.

"Ng-nggak... Mbak Lintang, saya mohon, kita harus bawa mereka juga..."

"HAH?!"

Nadim menatap Lintang yang sedang berdiri dengan lurus-lurus. "Saya mohon... Ada orang yang terluka parah karena saya..."

"Oke, kita bawa mereka, tapi diiket pake tali ya, dan kita seret sampe balik ke Marina," jawab Lintang tajam penuh sarkasme.

"Lo udah gila ya, Nadim?! Emang mereka gak nyakitin lo dan Yura, apa?! Gue ngerti lo baik dan cuma mau nolong, tapi mereka gak pantes dapet kebaikan lo lagi, Nadim!! Lo liat Yura, dia begini gara-gara mereka, TAU!!"

Lidah Nadim langsung kelu, ia hendak membuka mulutnya lagi untuk protes, namun perhatiannya segera teralihkan ke kekasihnya yang pucat dan belum sadarkan diri. Nadim merunduk dalam. Bukan hanya salah Raihan dan Azka saja yang membuat Yura menjadi demikian, ia juga punya andil di sini.

Nadim pun menghela nafas, "Oke... Maaf, Mbak Lin--"

"Nadim, stop.", sebuah tangan mendarat di bahu Nadim, seketika Nadim langsung mengangkat kepalanya. Dikta mendongakkan kepalanya untuk menatap Lintang.

"Lintang, kamu dokter, bukan?" tanyanya tajam.

"Ini bukan masalah dokter atau bukan, Pak Dik--"

"Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Waktu upacara kelulusan, kamu dan Yura ngucapin sumpah kedokteran ini, kan?"

"..." Lintang mendecakkan lidah, lalu gadis itu membuang wajahnya.

"Magang di Medistra memang bergengsi, aman dan nyaman, segalanya mudah. Tanpa kamu sadari semuanya lancar. Kamu nggak perlu mikirin betapa susahnya magang di desa karena serba keterbatasannya. Dokter-dokter muda melakukan segala cara supaya nggak ditempatkan di tempat yang jauh, tapi, Yura, yang mengabdi di desa terpencil dan jauh dari zona amannya, mengamalkan sumpah yang dia ikrarkan waktu dia lulus dengan sungguh-sungguh,"

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang