Kejadian-kejadian selanjutnya seperti mimpi bagi Yura.
Nadim menarik tangan Yura dan menariknya keluar dari rumah. Yang Yura ingat adalah Nadim membawa obor dengan tangan kanannya, dan menggandeng tangan Yura dengan sebelah kirinya. Mereka berdua keluar lewat pintu belakang--sebelum itu, Nadim menaikkan pintu belakang yang didobraknya dan meminta maaf. Berjanji bahwa besok dia akan datang lagi untuk membetulkannya.
Mereka menyusuri tangga berundak-undak yang menghubungkan elevasi tanah bawah-- di mana rumah Yura dan beberapa rumah warga lainnya berada, serta elevasi tanah atas--tempat rumah Nadim berada. Nadim mengingatkan Yura untuk berhati-hati serta untuk tidak jauh-jauh darinya. Ini pertama kalinya Yura menyusuri tangga tersebut.
Yura masih seperti di awang-awang, sebab dia baru saja mengalami panic attack lantaran listrik padam tiba-tiba. Ia melirik tangannya yang digenggam oleh Nadim erat-erat.
Keduanya sampai di rumah Nadim setelah menaiki tangga tersebut. Meskipun masih sedikit pusing, Yura cukup sadar untuk mengetahui ini pertama kalinya ia melihat rumah Nadim dari dekat.
Ukurannya lebih besar dibandingkan dengan rumah Yura di bawah, tetapi dengan desain dan struktur yang hampir sama; rumah panggung dan terbuat dari kayu. Kayu-kayu rumah Nadim berwarna coklat tua, serta kolong rumahnya jauh lebih tinggi dari rumah Yura. Lumayan tinggi sampai Yura bisa melihat Nadim menjadikannya sebagai semacam garasi dan tempat penyimpanan.
Pohon kamper raksasa yang Yura lihat dari bawah ternyata tidak sedekat yang Yura kira. Namun, saking tinggi dan besarnya pohon itu, dahan-dahannya menjulur sampai ke bagian belakang rumah Nadim. Semakin lama Yura menatap pohon itu, pikiran Yura semakin terguncang--namun Yura tak bisa berhenti menatapnya.
Nadim yang menyadari bahwa Yura terus-terusan menatap pohon kamper itu, segera menghalangi pandangan mata dokter tersebut dengan tangannya, lalu segera mengajak Yura untuk terus berjalan menuju rumahnya.
Kondisi rumah Nadim pun sama saat ini. Gelap gulita. Nadim masih menggenggam tangan Yura sampai mereka berdiri di depan pintu. Nadim membuka pintu rumahnya, kemudian menyuruh Yura untuk menunggunya.
Nadim dengan gesit menyalakan lampu pijar emergensi. Nadim punya beberapa, dan salah satunya ia bawa untuk diletakkan di samping Yura. Setelah itu, Nadim beberapa kali bolak-balik di dalam rumah. Sembari Yura menunggu Nadim untuk kembali bersamanya, Yura melihat obor yang tadi dipakai Nadim sudah padam dan diletakkan di atas sebuah kayu di samping tangga rumah.
Dia pun kembali bersama Yura dan duduk di samping dokter itu--membawa segelas teh hangat, yang lalu ia suguhkan untuk Yura--yang matanya masih sembab.
Baik Nadim maupun Yura tidak banyak bicara. Mereka berdua duduk di undakan pintu yang menghubungkan bagian rumah dengan teras, dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus lembut. Yura menyesap tehnya perlahan.
"... Makasih, A'." Celetuknya, lalu menaruh gelas teh itu lagi di sampingnya.
"Sama-sama. Di Ciperak masih agak sering mati lampu, jadi saya harap Mas Yura pelan-pelan bisa terbiasa," kata Nadim. Dia menatap Yura lurus-lurus, menatap mata dokter itu. Kemudian ia miringkan kepalanya.
"Terus, di Ciperak, terutama di daerah sekitar sini, kalau mati lampu, sinyal internet ikut mati. Karena menara internet di sini cuma ada satu, terus kartu yang tembus cuma Telkomsel sama Indosat." lanjut Nadim.
"O-oh, gitu ya. Makanya saya nggak bisa nelpon siapa-siapa." Yura terkekeh kecil, kemudian dia memeluk lututnya erat.
"Hmm. Terus, naha Mas Yura jejeritan tadi?" Pemuda bertubuh bongsor itu masih menatap Yura lurus-lurus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lost and Found
RomanceAku menemukanmu di pojok negeri ini. Dalam pergumulannya untuk menjadi seorang dokter, Yura yang baru saja lulus ujian UKMPPD, mengucapkan Sumpah Dokter-nya dan menyandang gelar "dr.", menerima tawaran magang yang menyebabkannya ditempatkan di ujung...