"Ssst, Yura, kenapa tangan kamu gemeteran?" bisik Dikta, menatap tangan sang dokter di depannya.
"E-eh? Gemeteran, Pak?"
"Iya! Calm yourself down. Kamu baru pertama kali lihat luka karena jebakan?"
"I-Iya sih Pak, tapi tangan saya gemetaran bukan karena ini," jawab Yura yang ikut berbisik sepelan mungkin supaya tak ada yang mendengarnya.
"Terus?" Nada bicara Dikta menajam.
Yura menggigit bibir bagian bawahnya sementara tangannya terus sibuk bekerja membersihkan pinggiran-pinggiran luka orang tersebut dengan cairan saline. Dia tak bisa menjawab jujur penyebab dari tangannya yang gemetaran. Dan sungguh, bukan karena luka besar mengerikan yang sedang diobatinya ini--Yura sudah cukup terbiasa.
Matanya melirik ke atas, ke Nadim yang berada di sebrangnya. Pria itu menatap Yura dengan wajahnya yang harap-harap cemas. Untuk hanya beberapa saat, Yura memandangi Nadim.
Yura pun memejamkan matanya sebentar, lalu sebuah hembusan nafas lega keluar dari mulutnya.
Nadim tidak terluka sedikit pun.
Beberapa saat sebelumnya, pemandangan Nadim yang berlumuran darah membuat lutut Yura lemas seketika. Yura kira, Nadim-lah yang terluka lantaran terkena jebakan tersebut.
Akan tetapi, kenyataannya adalah Nadim berusaha menghentikan pendarahan orang yang terkena jebakan tersebut, dan dia terkena cipratan darah cukup banyak. Itu sebabnya Nadim kotor dengan darah. Sampai saat ini, ketika dia sedang memperhatikan Dikta dan Yura yang sedang menangani orang itu, Nadim masih kotor dengan darah.
Ketika Dikta dan Yura selesai dengan penanganan pertama, sebuah mobil pick-up datang tepat waktu untuk mengangkut korban tersebut, lengkap dengan tandu. Pria itu pun terlihat sudah sedikit tenang begitu orang-orang mengangkutnya ke atas pick-up dengan tandu; sebelumnya erangan kesakitannya begitu memilukan, sampai dia harus menggenggam erat tangan seorang bapak ketika Dikta dan Yura mensterilkan lukanya. Bahkan beberapa orang memalingkan pandangan mereka karena saking ngilunya ketika melihat kedua dokter menyuntikkan antibiotik di sekitar lukanya.
Dia dibawa ke Puskesmas untuk penanganan lebih lanjut. Dikta berkata kepada orang-orang yang mengangkutnya ke Puskesmas bahwa ada Rini dan Endah yang sudah stand-by di sana, jadi mereka tidak usah khawatir.
"Mas Yura?"
Nadim menghampiri Yura yang tengah memasukkan peralatan-peralatannya kembali ke tas dan berjongkok di sebelahnya. "Saya sama Pak Dikta mau ke sungai buat bersih-bersih. Yuk, bareng-bareng." ajaknya.
"Oh, Aa' sama Pak Dikta duluan aja. Dibanding saya, Pak Dikta lebih banyak kena cipratan darah, bajunya juga lumayan kena banyak," kata Yura yang sedang membungkus sisa-sisa jarum dan suntik dengan hati-hati.
Tangan Nadim mendadak mendarat di pipi Yura, membuat sang dokter menghentikan kemas-kemasnya. Untuk sesaat, Yura mematung karena menyadari Nadim tengah menyentuh pipinya.
"Mas Yura juga kena banyak. Nih, sampai ke pipi Mas," ucap Nadim.
"Pak Dikta buru-buru karena dia mau ikut ke Puskesmas sama bapak-bapak yang tadi, jadi dia udah duluan ke sungai. Makanya saya ajak Mas Yura."
Nadim menyentuh bercak-bercak darah di pipi Yura dengan lembut, sampai rasanya lidah Yura terasa kelu untuk beberapa detik. Yura pun mengangguk kecil, dan kemudian mereka berdua menyusuri jalan pendek menuju sungai.
Seperti yang Yura duga di awal, ternyata memang ada sungai di dekat sini lantaran dia samar-samar bisa mendengar suara aliran sungai. Nadim menuntunnya menuju sebuah bantaran sungai yang dipenuhi batu-batu kali berbagai ukuran ke sebuah sungai dangkal; di pinggirnya hanya sedikit di atas mata kaki, dan di tengah-tengah sungai hanya selutut orang dewasa. Nadim membawa Yura ke area sungai yang dangkal, tapi dari sana, Yura bisa melihat ke area yang agak jauh, di mana sungainya terlihat lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost and Found
RomanceAku menemukanmu di pojok negeri ini. Dalam pergumulannya untuk menjadi seorang dokter, Yura yang baru saja lulus ujian UKMPPD, mengucapkan Sumpah Dokter-nya dan menyandang gelar "dr.", menerima tawaran magang yang menyebabkannya ditempatkan di ujung...