03

7.7K 921 43
                                    

"Akaaaaa!"

Aka, Nabella, dan Winda menoleh ke sumber suara. Disana, Thalia sudah berlarian sambil menenteng totebag yang bisa Aka tebak berisi laptop pink kesayangan gadis itu.

Thalia meletakkan tasnya kasar ke meja kantin. Gadis itu mengecek muka Aka. "Lo gak apa-apa? Gue denger tadi ada keributan pas kelas manajemen lintas budaya pagi tadi."

Aka menggeleng dan tersenyum. Thalia bernapas lega.

"Santai, Aka gak kenapa-kenapa selama ada gue," Nabella berkata dengan menepuk dadanya pelan. Tanda rasa bangga.

"Ya gimana ya, orang tadi lo nyiram anak orang. Gimana mereka mau macem-macem? Udah kepalang malu," ujar Winda sambil mencomot pangsit goreng milik Nabella.

Thalia terkejut. "Abel? Lo nyiram anak orang?"

Nabella tertawa menanggapi pertanyaan Thalia.

"Lo jambak gak?"

"Nggak, tangan gue keburu di tahan Aka." gerutu Nabella menatap sebal Aka.

"Ih, Aka!" rengekan Thalia membuat Aka tersedak kuah bakso.

"Harusnya Abel gak usah ditahan! Biar aja dia jambak mereka."

Winda tertawa kencang. Gadis itu merasa ucapan Thalia lucu. "Biasanya lo paling adem. Kenapa sekarang kepanasan deh?"

"Ya mereka emang pantes!" jawab Thalia singkat dan jelas.

Aka menggelengkan kepalanya. Ia sedikit terkejut, Thalia yang biasanya berkepala paling dingin diantara mereka saat ini menjadi sedikit beringas.

"Gue gak apa-apa kok," Aka menimpali dengan intonasi yang menenangkan Thalia.

Thalia pun ikut bergabung dengan mereka. Keempat gadis itu menjadi pusat perhatian di kantin. Maklum, visual mereka memang diatas rata-rata.

Hanya saja, kejadian pagi tadi masih menjadi topik utama para mahasiswa untuk bergosip.

"Aka, lo dapet salam dari anak psikologi nih." ujar Nabella memperlihatkan isi DM nya ke Aka.

Disana tertulis,

Bel, nitip salam buat Anastasia ya! Bilangin buat selalu semangat. Gue gak percaya gosip kok.

Aka menghembuskan napasnya pelan. Nafsu makannya mendadak hilang. Ketiga gadis disana menyadari perubahaan mood Aka. Nabella sedikit merasa bersalah karena ia adalah penyebabnya.

"Aka?" panggil Thalia hati-hati.

Aka menoleh kepada Thalia yang kebetulan duduk di sampingnya.

"Mau sampai kapan ngehindarin cowok?"

Itu adalah pertanyaan yang paling Aka hindari dan benci. Mengapa? Karena ia tidak tahu jawabannya.

Aka hanya merasa masih membutuhkan waktu.

"Seenggaknya bales DM atau pesan mereka. Gue juga capek, Ka. Isi DM gue nanyain lo, nitip salam ke lo. Sampe-sampe chat pacar gue tenggelem," gerutu Nabella.

Aka menatap sahabatnya dengan tatapan dingin. "Gue kan dari awal udah bilang, gak usah ditanggepin, Na. Lo tau kan gue gak mau berurusan sama cowok."

"Ya tapi, Ka-"

"Gue pulang. Win, uang gue masih di lo kan? Pake aja buat kalian jajan hari ini. Thalia, lo kalo mau makan gue bayarin, minta aja ke Winda."

Aka mengambil tasnya kasar dan berjalan menjauh dari ketiga sahabatnya.

Winda menghela napas. "Nabella."

Nabella mengangguk lesu. "Iya gue kelewatan. Tapi gue gregetan. Ini tuh udah hampir bertahun-tahun. Mau sampe kapan, Win? Kita saranin ke psikiater atau psikolog aja dia gak mau."

"Gue setuju sama Abel," Thalia menimpali. "Toh mereka yang nitip salam ke Aka juga cuman sebatas salam dan ucapan semangat. Seenggaknya Aka bisa bales sebentar, menghargai mereka."

Winda diam. Memang ada benarnya apa yang dikatakan kedua sahabatnya ini. Aka terlalu kaku dan menutup dirinya.

Aka selalu merendahkan dirinya sendiri. Menganggap bahwa dirinya tidak berharga di dunia ini.

Ketika awal berkenalan, Winda pikir itu memang sudah menjadi sifat asli Aka. Namun setelah ia mengetahui apa yang terjadi, Winda mencoba memakluminya. Apa yang dialami Aka memang mengerikan.

Namun, Winda berharap setidaknya Aka mau berubah sedikit demi sedikit.

Lamunan Winda terhenti ketika sebuah tangan menepuk kepalanya pelan. Ternyata disana sudah ada Rendi dan teman-temannya.

Bahkan Revan sudah memeluk lengan Thalia dengan manja. Winda mendengus pelan, pemandangan ini membuat Winda sedikit sebal.

Bukan karena apa, tingkah Revan yang sok imut dan sok manis di depan Thalia yang membuatnya ingin menampar wajah laki-laki itu dengan buku akuntansi.

"Ngelamun aja, mikir apa lo?" tanya Vito. Laki-laki itu mencomot pangsit goreng Nabella yang tersisa dua di piring.

"Mikir tugas kuliah." jawab Winda singkat.

Dava duduk di tempat dimana Aka tadi duduk. Ia mengerutkan keningnya. "Ini tadi ada orang ya?"

Ketiga gadia itu mengangguk. "Ada Aka."

"Terus, anaknya kemana?" tanya Dava penasaran. Pasalnya tingkat keingin tahuannya terhadap sosok Aka meningkat akibat menjadi bahan pembicaraan teman-temannya.

"Kepo lo. Kenal aja nggak!" sahut Nabella ketus.

"Sensi amat lo sama gue, Bel?"

Nabella memutar bola matanya malas. "Gue males aja liat muka lo yang tengil sok ganteng. Brengsek pula."

Dava terkekeh. Ia tidak masalah dengan ucapan Nabella, pasalnya memang benar kenyataannya. Apalagi bagian brengsek. Dava memang mengakui diri bahwa ia manusia brengsek.

Minum, merokok, gemar melakukan one night stand dengan berbagai wanita yang tidak dikenalnya. Kurang brengsek apa lagi seorang Dava?

"Besok kita sekelas kan? Manajemen strategik?" ujar Revan pada Thalia yang dijawab anggukan oleh sang hawa.

"Emang jam berapa?" tanya Winda.

"Jam 12.40 siang."

"WEH KITA SEKELAS BOSKUUU!" ujar Thor dengan semangat.

"Gue juga."

"Sama."

"Sekelas lagi nih. Lo, Dav?"

Dava menggeleng. "Gue selasa jam 09.50."

"Kasian!" ejek Vito.

Dava mengendikkan bahunya. Mau sekelas atau tidak, itu bukan masalah besar. Toh Dava terbiasa untuk tidak bergantung kepada orang lain.

"Gue balik dulu," Dava mengambil kunci mobil disakunya.

"Mau kemana?" tanya Thalia.

Dava mengerlingkan sebelah matanya. "Urusan sama cewek."

Mereka semua paham maksud Dava. Bukan sebuah rahasia lagi. Bahkan satu fakultas tahu seberapa rusak laki-laki yang memiliki wajah bak pahatan patung Yunani.

"Lah, kok tiba-tiba hujan lagi.." gumam Winda pelan











-to be continued-

Strawberry and You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang