21

5.3K 837 51
                                    

Kelas hari ini berakhir di jam 15.30 tepat. Aka menghembuskan napasnya lega. Pasalnya hari ini adalah jadwal kelompoknya presentasi. Gadis itu lega harinya telah selesai.

Ya, ia dan Dava tadi melakukan presentasi berdua.

Awalnya gadis itu pikir ia akan banyak mem-back up Dava yang terlihat tidak serius dan ogah-ogahan.

Namun siapa sangka, selama diskusi dan tanya jawab berlangsung, seorang Ardava Mahendra lah yang paling getol bersuara.

Aka hanya sesekali menanggapi dan membantu Dava yang kesulitan mengaitkan jawabannya dengan teori.

"Ardava, kerja bagus. Lain kali lebih aktif ya"

Lihat, bahkan Pak Jovan saja memuji Dava.

"Ka.."

Aka menoleh ke sampingnya. "Apa?"

"Lo gak mau ikutan muji gue gitu? Ini gue jarang-jarang loh serius."

"Kerja bagus," ujar Aka singkat.

Dava tanpa sadar memberengutkan wajahnya, "Bukan gitu yang gue mauuuu!"

"Ya terus gimana, Dava?" ujar Aka pasrah. Atensi gadis itu kini sepenuhnya beralih kepada laki-laki yang duduk di sampingnya ini.

"Nih gue ajarin cara memuji cowok ganteng kayak gue dengan baik dan benar."

Dava dengan santainya meraih tangan Aka dan mengarahkannya ke kepalanya sendiri, "You did well, darling."

Aka sontak menarik tangannya. Gadis itu menatap tajam Dava. "Maunya lo ini mah!"

Dava hanya tertawa. Pemuda itu puas sudah mendapatkan elusan dari Aka, walaupun bukan langsung inisiatif dari Aka.

Tidak apa-apa, yang penting tangan gadis itu berada di kepalanya.

Tiba-tiba sebuah ide jahil terlintas di kepala Aka. Gadis itu kembali menatap Dava yang kini sedang asyik dengan ponselnya.

Untungnya kelas sudah sepi. Hanya tinggal mereka berdua saja.

"Dav."

Pemuda itu hanya berdehem.

"Yang itu tadi cara muji cowok ganteng ya?"

Kini Dava mengalihkan perhatian dari ponselnya kepada Aka. Pemuda itu tersenyum jahil, yang sialnya Aka harus mengakui bahwa Dava memang tampan.

"Iya benar sekali saudari Anastasia Karina!"

Aka mengangguk. "Kalo gitu ntar pas sekelompok sama Rendi gue ngasih apresiasinya gitu kali ya," ujarnya sok polos.

Ujaran Aka mengundang tatapan tajam dari Dava. Dalam hatinya, Aka ingin tertawa puas melihat ekspresi konyol Dava saat ini.

"Dih, nggak boleh!"

"Loh tadi katanya cara mengapresiasi cowok ganteng gitu."

"Emang Rendi ganteng?" tanya Dava sengit.

Aka mengangguk mantap. "Iya."

"Gantengan gue apa Rendi?"

Gadis itu terdiam sejenak. Bingung memberi jawaban. Pasalnya keduanya ia akui tampan, namun berbeda.

Rendi itu kalau kata orang Jawa, lanangan bagus. Tampan dan selalu tampil rapi. Membuat siapa saja betah memandangi pemuda tersebut.

Kalau Dava itu tipikal bad boy, dengan garis wajah maskulin dan rahangnya yang tajam. Proporisi tubuhnya juga bagus. Bahkan para mahasiswa mengakui bahwa Dava memang unggul secara fisik dan rupa, bukan hanya mahasiswi saja.

"Gue gak mau jawab kalo itu," ujar Aka final. Gadis itu beranjak meninggalkan kelasnya.

"Gak boleh ya Aka!"

Dava masih terus mengoceh di belakangnya. Gadis itu tak ambil pusing.

"Aka!"

"Apa sih, bawel banget lo!" ketus Aka.

"Jangan pegang-pegang cowok lain. Jangan muji cowok sembarangan juga!"

"Iya."

"Gue serius," raut muka Dava menunjukkan ekspresi datarnya.

"Iya, Dava," balas Aka jengah. "Lagian lo tau sendiri gue gak bisa skinship sama sembarangan cowok."

"Good girl!" Dava mengelus pelan puncak kepala Aka.

Gadis itu menyingkirkan tangan Dava. Ia mendengus kesal. "Bukan berarti lo seenaknya nyentuh gue ya."

Dava hanya tertawa.

Kedua manusia itu pun berjalan beriringan. Sepanjang perjalanan, Dava mengoceh banyak hal. Sedangkan Aka hanya sesekali menanggapi Dava.

Memang selalu seperti itu, Dava yang aktif sedangkan Aka adalah pihak pasif.

"Lo mau makan di kantin gak? Kata Revan ada Thalia nih," ujar Dava menunjukkan ponselnya ke Aka.

Gadis itu menggeleng pelan. "Gue gak suka di kantin. Rame."

"Ya kantin mana pernah sepi sih cantikk," gemas Dava.

"Makanya itu. Gue balik langsung aja deh. Capek."

"Mau dianterin gak?"

Aka menatap jengah Dava. Pemuda itu tertawa. Ia sudah tau pasti apa jawaban Aka atas tawarannya.

"Iya-iya ampun cantik. Ada fasilitas ojol. Gue bisa pulang sendiri. Ya kan?"

Gadis itu hanya memutar bola matanya malas.

"Udah pesen emang?" tanya Dava. Mereka kini berada di pintu masuk belakang fakultas. Tempat biasa Aka menunggu ojol.

Gadis itu tak nyaman jika harus menunggu di lobby utama fakultas yang ramai mahasiswa.

"Udah. Gih, sana lo ke kantin! Capek gue seharian sama lo!" usir Aka ketus.

"Aka jahat banget sih sama Dava," ujar pemuda itu dengan tatapan memelas, yang menurut Aka menggelikan.

Pukulan keras mendarat di lengan kekar milik Dava. Bukannya kesakitan, malah pemuda itu tertawa puas.

"Sana!"

"Iya. Hati-hati ya. Kalo ada apa-apa jangan sungkan hubungin gue. Eh, wajib ngehubungin seorang Ardava. Oke cantik?"

Aka memilih mengangguk mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh pemuda berambut biru mencolok itu. Sudah cukup pusing ia mendengar ocehan Dava hari ini.

Saat sedang menunggu ojek pesanannya, sebuah mobil yang familiar berhenti di depan gadis itu.

Aka mengernyitkan dahinya. Saat kaca mobil diturunkan, gadis itu terkejut melihat seseorang yang ia kenal baik di dalamnya.

"Mas Arjun?"







-to be continued-

Strawberry and You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang