17

5.4K 858 39
                                    

Siang ini Aka langsung pergi menenangkan diri ke perpustakaan kampusnya. Sejak pagi tadi, orang-orang selalu berbisik ketika ia lewat.

Awalnya Aka terlihat biasa saja, toh menjadi bahan pembicaraan bukan hal biasa baginya.

Namun saat Thalia mengirim screenshoot menfess kampusnya yang berisi fotonya berdua dengan Dava di kafe kamis lalu saat mengerjakan tugas kelompok, jantung Aka mendadak berdebar kencang. 

Setelah kelas selesai, tanpa menghiraukan panggilan Nabella, Aka berjalan menundukkan kepalanya sepanjang menuju perpustakaan.

Aka bernapas lega bahwa tempat favoritnya sedang sepi. Hanya ada dia saja di ruang baca. Gadis itu menelungkupkan kepalanya, mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Aka tidak salah, mereka hanya mengerjakan tugas kelompok. Tidak lebih.

Jujur saja, Aka trauma dengan spotlight yang selalu ia terima. Aka bukan tipe yang suka menjadi pusat perhatian orang.

Gadis itu tidak nyaman berada di tempat ramai, gadis itu tidak terbiasa dipuji orang, gadis itu juga tak pandai membuka percakapan dengan orang lain.

Aka hanyalah seorang gadis kaku yang ingin hidup tenang.

Saat merasa sedikit lebih tenang, ia mengangkat kepalanya hendak merapikan rambutnya yang menempel di wajah.

Betapa terkejutnya gadis itu ketika menemukan Dava sudah duduk berlutut di samping kursi yang ia duduki. Posisi pemuda berambut blonde itu lebih rendah darinya.

"Dava?" pekik Aka. Suaranya sedikit tercekat.

Pemuda itu tersenyum sendu. Aka hendak bertanya mengapa ia bisa disini, namun ucapan Dava selanjutnya membuat gadis itu diam.

"Maaf.."

Ah, pemuda ini sudah tahu rupanya.

Sejujurnya, jauh di dalam hati kecilnya Aka ingin menyalahkan Dava. Kenapa sih pemuda ini tak berhenti mengikutinya?

Namun jika dipikir-pikir lagi, banyak interaksinya dengan Dava yang tidak di sengaja dari awal.

Seolah-olah memang takdir menginginkan mereka untuk dekat.

"Gue bakal nyari pelaku menfess-nya. Mereka jahat banget, lo gak salah," ujar Dava menenangkan.

Aka menunduk. Gawat, ia ingin menangis saat ini.

Bukan masalah foto. Jika hanya foto saja mungkin Aka tidak akan se-gemetar ini. Namun isi dari menfess itu. 

Liat deh, gak dapet yang bersuami malah ngincer fuck boy. Butuh duit banget ya si Aka? Gue lihat mereka sering jalan bareng. Udah berapa kali tuh sama si Dava? Hahahaha.

Kira-kira begitulah bunyi menfess-nya.

"Aka?"

Gadis itu menoleh, seiring dengan air matanya yang menumpuk di pelupuk mata indahnya.

Tenggorokan Dava serasa ada yang mencekik.

Demi apapun Dava bersumpah lebih baik ia melihat Aka menyumpah serapah padanya daripada melihatnya menangis seperti ini.

Aka terlihat rapuh. Gadis itu tak sekuat yang Dava kira.

"Mau nangis disini atau di mobil gue?" 

Tak ada jawaban.

Dava menarik pelan tangan gadis yang sudah ia genggam semenjak kata maaf terucap dari bibirnya. Ia mengambil tas Aka yang tergeletak di meja ruang baca. Mereka keluar dari perpustakaan.

Untungnya mobil miliknya sudah terparkir di parkiran perpustakaan, sehingga mereka tak perlu menarik perhatian lebih banyak lagi.

Saat pintu mobil tertutup, saat itu pula Aka menangis. Menumpukan kepalanya pada lutut. Dava menghela napasnya. 

Pemuda itu tak ada pilihan selain menarik pelan tubuh Aka yang bergetar. Ia mengelus pelan rambut hitam Aka yang dibiarkan tergerai berantakan menutup wajah cantiknya.

"Gue salah apa sih ke mereka..." lirih Aka dalam tangisnya.

Dava menggeleng dengan mantap. "Gak ada. Mereka aja yang iri karena lo cantik dan pinter."

"Gue cuman mau hidup tenang, Dav."

"Iya-iya. Gue pastiin mereka nanggung akibatnya."

Dava benar-benar bersumpah akan mencari siapa yang mengganggu hidup gadis di dalam dekapannya ini. 

Ketika ia mengecek group chat miliknya dan sahabatnya, sebuah screenshoot menfess yang sedang ramai dikirim oleh Thor.

Saat itu yang terpikirkan olehnya adalah dimana gadisnya.

Setelah kelasnya bubar, tanpa menghiraukan panggilan Thor dan Rendi, pemuda berambut blonde itu pergi menuju lantai tiga, dimana kelas Aka berlangsung.

Kosong, kelas itu sudah kosong.

Saat Dava bertanya kepada salah satu teman sekelas Aka, ternyata mereka melihat Aka terburu-buru keluar menuju arah perpustakaan.

Benar saja, Dava menemukan gadis itu disana. Sedang menelungkupkan kepala di meja ruang baca.

Dava tak tahu sejak kapan ia peduli pada seorang gadis. Jika ini adalah Dava yang biasanya, ia akan masa bodoh.

Toh memang reputasinya sudah sehancur ini, tak perlu dielak. Untuk apa meladeni mereka yang tak tahu apa-apa tentang hidupnya.

Tapi karena Aka ikut terseret, Dava merasa sangat bersalah entah kenapa.

Apakah keputusannya ingin dekat dengan Aka hanya akan menambah beban gadis di dekapannya ini?

"Dava." 

Lamunan Dava terhenti ketika Aka bergerak melepaskan diri.

Dava melihat Aka yang tengah mengusap air matanya. "Maaf. Kemeja lo basah," cicitnya pelan

Dava terkekeh melihat hidung merah Aka. 

Terlihat lucu baginya. 

"Santai"

"M-makasih ya," ujar Aka. Dava mengangguk singkat.

"Lo kalo mau nangis hubungin aja gue."

Aka terkekeh pelan. "Gak ah. Repot. Ngerjain tugas kelompok ada udah dikatain."

Dava terdiam mendengar balasan Aka.

"Kalo gue cuman nambahin beban lo, gue batalin deh niatan temenan sama lo."

Sebenarnya ucapan Dava serius, namun nada bicaranya terkesan bercanda di telinga Aka.

Aka terdiam sebentar mendengar perkataan pemuda yang sedang menatapnya dalam ini.

Harusnya ia mengiyakan perkataan Dava kan?

"Gue.." suara Aka tiba-tiba mengecil. "Gue gak masalah sih sebenernya, toh gue juga udah terbiasa sama lo," cicit Aka ragu.

Senyuman Dava merekah sempurna. Eye smile miliknya terpampang jelas mendengar balasan dari Aka.

Jadi, artinya ia tidak usah mundur kan?





-to be continued-

Strawberry and You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang