09

6.1K 975 58
                                    

Setelah kejadian mengantar pulang Aka, Dava menjadi lebih sering bertemu dengan gadis yang memiliki aroma manis stroberi itu.

Persis seperti kali ini, mereka berdua disatukan menjadi satu kelompok di salah satu mata kuliah. Entah ini keberuntungan atau kesialan bagi Dava, satu kelompok hanya beranggotakan dua orang saja. Otomatis Aka dan ia sekelompok berdua.

Catat. Berdua.

Dava memperhatikan gadis yang saat ini duduk di depannya. Mereka sedang berada dk perpustakaan kampus untuk membahas tugas mereka.

Sedari tadi, bukannya fokus mendengarkan penjelasan Aka, Dava malah terfokus pada rambut dan leher jenjang gadis itu.

Ya, hari ini Aka menguncir rambutnya. Double kill untuk saudara Ardava Mahendra.

"Jadi, kita nyari jurnal pendukung dulu aja ya?" Aka menoleh ke Dava.

"Eh? Ya oke. Nanti gue cariin," sahut Dava gugup.

Aka mengangguk. Ia kembali fokus pada tugasnya.

"Ini udah?" tanya Dava, yang dibalas anggukan singkat oleh Aka. "Ya kan kita belum dapet jurnalnya."

"Oke. Gue nyebat disini boleh gak sih?"

Aka menatap jengkel Dava. Laki-laki itu terkekeh, ia paham maksud tatapan Aka.

"Ya abisnya cuman bentaran doang. Mana di luar hujan. Tau gitu tadi bahas di kafe depan aja, biar bisa nyebat."

"Ya udah sana." ujar Aka singkat. Gadis itu masih fokus pada laptopnya.

Tiba-tiba tas milik Aka diambil oleh Dava. Ia memasukkan buku catatan dan peralatan tulis Aka secara tiba-tiba. Hal itu membuat Aka mengalihkan fokusnya.

"Loh?"

"Ikut gue ke kafe. Sekalian nyelesaiin tugas manajemen lintas budaya."

Kening Aka berkerut bingung. "Gue gak sekelas sama lo, Dav."

Catat lagi, ini pertama kalinya Aka memanggil namanya. Walau hanya dav.

"Ya gue tau. Ajarin gue."

"Kita gak sekelas."

"Tapi dosen kita sama. Tugasnya pasti sama kan?"

Dalam hati Aka membenarkan perkataan Dava. Dosennya memang sama, otomatis tugas yang diberikan hampir mirip, atau bahkan sama persis.

"Gue gak mau ngulang, jadi gue minta tolong ke lo."

Aka melihat sorot mata yakin milik Dava. Ia tidak menemukan kebohongan di dalamnya. Karena itu lah, ia mengangguk dan mengambil tasnya dari genggaman Dava. Namun ternyata Dava tidak membiarkannya.

"Biar gue yang bawa."

Ketika Aka akan menolak, Dava memberi tatapan yang memerintahkan Aka untuk menurutinya.

"Ya udah terserah," Aka berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Dava dengan senyuman tipisnya di belakang.

Mereka berdua pun pergi menuju kafe depan kampus yang mungkin membutuhkan waktu sekitar 8 menit dari perpustakaan kampusnya.

Aka mengambil tempat duduk di dekat jendela. Spot favoritnya.

"Lo mau pesen apa?" tanya Dava. Ia menyerahkan tas berwarna biru pastel milik Aka yang disambut segera oleh sang pemilik.

"Pesenin aja strawberry cake one slice. Minumnya air putih aja."

"Oke."

Selagi Dava memesan, gadis itu membuka tugas MLB yang telah ia kumpulkan dua hari yang lalu. Sebenarnya tugasnya hanya memberi komentar mengenai sebuah kasus, bagian mana yang tidak dimengerti Dava?

"Tunggu 5 menit katanya."

Dava kembali. Ia duduk tepat di samping Aka. Gadis itu gugup.

Ya, sedari tadi, atau bahkan semenjak diumumkan menjadi satu kelompok, Aka mati-matian menahan perasaan cemasnya. Semua ekspresi datar yang ia tunjukkan pada Dava hanyalah topeng belaka.

"Lo kedinginan lagi? Tangan lo gemeteran." ujar Dava.

Aka menggeleng. "Gak kok. Gue gak apa-apa."

"Tapi itu-"

"Lo bisa pindah depan gue gak?"

Dava mengerutkan dahinya mendengar permintaan dari Aka. Memangnya kenapa jika ia duduk di samping?

"Gue gak enak kalo diskusi sampingan. Mending lo duduk depan gue aja," ujar Aka yang mengerti arti tatapan Dava.

Oke, Dava menuruti Aka. Ia pindah posisi berada di depan Aka.

"Dimakan itu pesenan lo," ujar Dava menunjuk kue stroberi pesanan Aka.

"Bentar, gue jelasin dulu tugasnya-"

"Gue udah paham. Pinjem laptop. Lo makan aja udah."

Mau tak mau Aka menurutinya. Lagipula kue stroberinya sudah meraung-raung minta dimakan.

Dava memperhatikan gadis di depannya. Ekspresi wajahnya bisa berubah total hanya karena kue stroberi?

Seumur-umur, ia baru melihat senyuman lebar Aka hari ini. Cuman gara-gara stroberi?

"Lo pecinta berat stroberi ya?"

Aka menoleh. "Bisa dibilang iya."

"Pantesan."

Aka menoleh, mengernyitkan dahinya. "Maksud lo?"

Dava berdehem. "You smell like a strawberry."

Aka membeku mendengar perkataan Dava barusan.

"Even my hoodie smells like you, now."







-to be continued-

Strawberry and You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang