14

5.6K 855 14
                                    

Semenjak Dava bertekad untuk dekat dengan Aka, laki-laki itu terus mengganggu Aka. Di semester ini ia mendapat dua kelas yang sama dengan Aka. Ketika pembagian kelompok, Dava sedikit mengancam komting kelasnya agar ia dan Aka bisa sekelompok bersama lagi.

Ancamannya berhasil. Aka dan dirinya menjadi partner satu kelompok lagi. 

Sedari tadi Aka mengeluh dalam hati. Semenjak kejadian di danau kemarin, Aka pikir intensitasnya bertemu dengan pemuda berambut blonde ini akan berkurang. Namun sepertinya takdir sedang mengerjainya habis-habisan.

Aka menatap jengkel pada laki-laki yang tengah memamerkan cengiran tengilnya itu. Aka belum tahu saja kenapa ia bisa satu kelompok lagi dengan Dava. Gadis itu sedari tadi hanya menyalahkan takdir.

Kalau sampai Aka tahu, matilah Dava.

"Mau ngerjain kapan?" tanya Dava masih mempertahankan cengirannya.

"Ya lo bisa kapan?" 

"Gue mah selalu bisa kalo sama lo." 

Aka mendengus tak percaya. Memang Dava benar-benar pandai dalam berbicara.

"Lusa ya? Kelas gue hari kamis dibatalin. Lo bisa jam berapa?" 

Dava berpikir sejenak. "Gue kosong."

Gadis itu memicingkan matanya. Ia curiga pada Dava. "Lo gak lagi memboloskan diri kan?"

Dava tertawa. Tak menyangka gadis berambut indah di depannya ini mengerti dirinya. "Tadi gue bilang apa? Gue selalu bisa kalo urusannya sama lo, Aka."

"Dava."

"Iya-iya nyerah. Gue ada kelas jam sepuluh pagi."

Aka mengangguk. "Oke kita kerjain sore aja kalo gitu. Jam empat di kafe biasa."

"Perlu dijemput?" tawar Dava.

"Gak makasih. Ada fasilitas ojol!" ketus Aka.

Gadis itu memasukkan barang-barangnya, bersiap meninggalkan kelas. Ya, sedari tadi dua manusia itu masih berada di kelas untuk berdiskusi. Dava yang tau gadis di depannya ini akan pergi kemudian mencekal tangannya.

"Ada apa lagi?" tanya Aka pada Dava.

Dava menggaruk lehernya. "Ayo temenan!"

Sejenak Aka terdiam. Gadis itu menatap laki-laki yang sedari tadi belum melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Aka.

"Alesannya?" tanya Aka pada akhirnya. Ia pun sedikit penasaran dengan alasan Dava.

"Mau jujur atau bohong?"

"Jujur."

"Oke," Dava menghela napasnya pelan. "Gue sedikit penasaran dan tertantang buat deket sama lo."

Penasaran ternyata. Aka tertawa miris. Ia sudah menduganya. Namun, jujur dalam lubuk hatinya, ia menghargai kejujuran laki-laki berparas tampan di depannya ini. 

"Jangan penasaran sama gue, Dav." 

Dava menggeleng. "Gue serius. Kalo gitu ijinin gue berusaha."

Aka kembali terdiam. Sejujurnya, ia sudah terbiasa dengan kehadiran Dava dalam hidupnya. Bahkan Aka sudah terbiasa dengan aroma maskulin dan rokok khas milik Dava. Ia juga tidak gemetaran lagi seperti dulu ketika pertama berdekatan dengan Dava.

"Terserah," ujar Aka pada akhirnya. Gadis itu melepaskan genggaman tangan Dava.

"GUE ANGGAP IYA, AKA!" teriak Dava yang tak dihiraukan gadis itu. 

Aka terus melangkahkan kakinya sampai hilang dari pandangan Dava.

Kelas menjadi sepi, namun Dava enggan beranjak. Laki-laki itu terus menyunggingkan senyumnya tanpa sadar.







-to be continued-

Strawberry and You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang