38. Pengakuan

792 49 0
                                    

"Karena kata penting"

-ARZARA-

Arsa mengingat kembali hari dimana cinta pertama gadisnya, memintanya untuk menjaga gadisnya baik-baik. Padahal tanpa perlu diminta, ia sudah melakukannya.

Bahkan lebih dari itu. Lebih dari menjaga. Harus diakui bahwa ia telah menyukainya. Zara Nabila.

Gak! Gue nggak suka sama dia! Dia selalu nyusahin gue dengan perasaan yang dia kasih!

Ya kalau nggak gengsi, bukan Arsa namanya. Gengsi yang sudah nggak bisa dipungkiri. Ketiga sahabatnya menggeleng kepala bersamaan melihat tingkah laku lelaki itu.

"Hadeh, susah kalau hatinya udah jadi batu" Ceplos Angkasa.

"Makin susah kalau nggak ada yang bisa ngatasinnya" Sambung David.

Ciko menepuk pundak Arsa, "Akuin!"

Arsa memutar kedua bola matanya malas, "Apaan si lo pada. Jangan sok tau!"

"Kejar, Sa. Kalau emang lo beneran suka" Ucap Ciko lagi.

"Mantep lo, Ko! Kata-kata yang keluar dari mulut lo emang nggak pernah blacklist" Ucap David.

Angkasa pun menggeleng kepalanya dengan bangga sambil merangkul Ciko, "Beruntung banget gue temenan sama lo"

Ciko pun segera melepas rangkulannya dengan kasar "Iya gue yang enggak!"

Angkasa meringis, "Aduh sakit banget!"

David pun menggeleng kepalanya--tidak habis pikir dengan Angkasa, "Kok bisa gue temenan sama lo"

Angkasa pun tersenyum, "Jodoh emang nggak kemana"

David pun memukul kepalanya, "Takdir! Pala lu jodoh"

***

"Gue gaakan kemana-mana. Jadi lo nggak perlu ngerasa sendirian"

Devan menatap gadis yang ada dihadapannya. Ia tahu bahwa setelah cinta pertama Zara pergi, gadis itu seolah tidak lagi hidup. Matanya kosong, bahkan sudah lenyap semangat yang ada dalam dirinya.

"Ini salah, Van"

Devan pun mengerutkan dahinya, "Apa yang salah?"

Zara menunduk, "Gue. Seharusnya gue nggak sampe segininya. Bahkan itu udah beberapa tahun lalu"

Pandangan Devan tak lepas dari gadis itu, "Itu bukan kesalahan, Ra. Dan nggak seharusnya lo nyalahin diri lo sendiri"

"Gue minta maaf, Van"

"Gaada yang perlu dimaafin, Ra"

"Van. Kenapa lo masih disini?"

Devan menghela napas, "Sejak awal gue cuma mau nemenin lo, Ra. Buat lo nggak ngerasa sendirian"

Zara menggeleng kepala, "Tapi itu nggak perlu, Van"

"Perlu bagi gue"

Zara terdiam. Kepalanya masih menunduk. Ia tidak mau melukai siapapun. Termasuk lelaki yang ada dihadapannya saat ini. Yang selalu membuang waktunya hanya untuk menemaninya. Mungkin jika perasaan bisa diatur, Zara sudah memutuskan untuk jatuh hati pada lelaki itu sejak awal.

"Gue nggak perlu jadi tokoh utama dalam cerita lo, Ra. Seenggaknya gue punya peran didalamnya" Ucap Devan lagi.

Devan pun beranjak dari duduknya, "Makanannya jangan dibiarin aja. Kasian Mama, khawatir diri lo juga. Kalau ada apa-apa hubungin gue"

ARZARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang