41. Permainan selesai

789 43 0
                                    

"Perasaan kita bukan berarti hak milik kita. Buktinya, kita tidak bisa memilih kepada siapa harus jatuh. Karena bukan kendali kita dan karena sudah kerjanya"

-ARZARA-


Lelaki paruh baya yang dianggap sebagai ayah tirinya itu sudah memasuki ruangan. Ruangan dimana banyak yang seperti dirinya. Jiwa yang sakit. Mereka menyebutnya RSJ. Rumah Sakit Jiwa. Tempat perberhentian terakhir Susanto. Bagaimana bisa? Lelaki paruh baya itu memang nyaman disana. Dan istrinya--Rina mengabulkannya.

"DASAR WANITA JAL*NG! KURANG AJAR KAMU! KAMU MEMANG PANTASNYA DI DALAM NERAKA! HAHAHA! PERGI SANA KE NERAKA! HAHAHAHAHA"

Matanya memerah. Rina berusaha untuk tidak menangis. Apalagi untuk lelaki itu. Lelaki yang berhasil menipunya, alih-alih cinta padahal tidak. Rina sudah membodohi dirinya sendiri. Ia ingin sekali memberhentikan itu saat ini. Sekarang juga. Dan tidak mengulanginya lagi. Tidak akan.

"We start the game! Haha! Haha!"

Lelaki paruh baya itu mentertawakan apa yang ada didepan matanya. Seorang gadis dengan lelaki yang tengah tertawa gembira. Ia ikut tertawa karena setelah gadis itu bahagia, tidak akan ada senyuman yang terukir diwajahnya. Tidak akan ia biarkan.

"Jangan biarkan dia terus dekat dengan lelaki itu. Lakukan apa yang harus kamu lakukan! Jangan seperti siput! Kali ini kamu harus bergerak dengan cepat!"

Arsa diam dengan mata yang tidak lepas menatap gadis itu. Gadis menyebalkan yang menariknya untuk ikut masuk ke dalam hidupnya.

Tidak lama dari itu, lelaki itu pun mengangguk.

Ia tidak bisa menolak. Ia harus melindungi orang yang ia sayangi. Karena ia tahu, lelaki paruh baya itu tidak akan main-main dengan perkataannya.

Pertahanan itu pun runtuh. Rina benar-benar tidak menyangka. Bahkan tidak cukup lelaki paruh baya itu menyakitinya, ia menyakiti putrinya juga. Ia sangat menyesal. Ia marah pada dirinya sendiri kenapa ia membiarkan semuanya terjadi. Kenapa ia mempersilahkan lelaki berengsek itu masuk. Kenapa ia terus menuntut putrinya untuk memanggilnya ayah. Padahal jauh dari itu, ia sangat tidak pantas disebut ayah.

***

Air mata gadis itu jatuh. Ia menatap seseorang yang ada dihapadannya dengan tatapan tidak menyangka. Tersentak dengan apa yang diucapkan lelaki itu.

"Tolong, maafin gue" ucapnya lagi memohon.

Gadis itu terus menangis. Air matanya terus menerobos keluar tanpa ampun.

Arsa mencoba meraih tangannya namun Zara segera menjauhkan dirinya.

Isakan tangis gadis itu menancapkan banyak pisah dilubuk hatinya. Ia sudah membuat gadisnya terluka. Bahkan mungkin baiknya gadis itu tidak memaafkannya. Karena ia pantas untuk itu.

"Benci gue, Sa! Benci gue aja! Kenapa sampai repot-repot ngelakuin itu?!" Teriak Zara dengan tangisan yang tidak kunjung berhenti atau bahkan mereda.

Zara mengusap air matanya dan langsung berbalik, beranjak dari sana. Arsa membiarkan gadis itu pergi. Sudah cukup ia mengusik hidup gadisnya. Sudah cukup ia menghadirkan kesedihan untuk gadis itu. Sudah waktunya gadis itu tenang dan bahagia.

ARZARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang