7. Posesif

2.7K 169 4
                                    

"Bukan kamu yang posesif. Tapi, aku yang terlalu percaya diri"-Z

-ARZARA-

Pukul 20.47

Ting!

Zara mengecek ponselnya setelah mendengar sebuah notifikasi masuk.
Ia pun mengerutkan dahinya saat membaca pesan yang tidak diketahui siapa pengirimnya itu.

+62878196330** : Hai

Zara pun membalas pesan tersebut dengan ragu.

Siapa?

Tidak butuh waktu lama. Zara pun mendapat balasan.

+62878196330** : Devan

Zara : Tau nomor gue dari mana?

+62878196330** : Kepo!

Ia pun mendengus kesal melihat balasan pesan tersebut dan berpikir sejenak. Siapa temannya yang suka ember? Maen ngasih-ngasih aja nomornya ke sembarang orang.

Sedetik kemudian ia menjentikkan jarinya. Pasti si Nana. Awas aja lo Na. Batinnya sambil tersenyum iblis.

***

Setelah sampai disekolah, Zara cepat-cepat masuk ke dalam kelasnya. Mencari mangsanya. Karena dari semalam, tangannya sudah gatal.

"Nanaaa!!" Teriaknya ketika memasuki ruang kelas dengan suara yang menggelegar. Zara emang cempreng, tapi kalo udah nyanyi, keluar dah tuh suara emasnya.

Ia celingak-celinguk mencari mangsanya. Bahkan satu orang temannya yang lain pun belum kelihatan batang idungnya.

"Masih pada molor nih kayanya. Atau gue yang datangnya kepagian, ya?" Tanyanya pada diri sendiri.

Ia pun memilih menaruh tasnya terlebih dahulu ditempat duduknya yang paling depan. Alasan ia memilih duduk disana agar tidak mudah mengantuk. Katanya.

Setelah menaruh tasnya, ia keluar dari kelas untuk sekedar mencari angin. Siapa tau aja ada orang ganteng nyasar.

"Sekolah berasa kayak kuburan. Sepi amat" Gumamnya.

"Hei, ZARA NABILA!!!" Teriak seorang gadis dari belakangnya. Ia pun sudah tahu jelas itu siapa, karena terdengar dari suaranya yang begitu cempreng melebihi murid lainnya.

"Eh, Nana sayang" Zara berucap sambil membalikkan tubuhnya. Kini mereka saling berhadapan.

"Lo pasti ada maunya kan bilang sayang? Atau lo udah nggak suka sama cowok lagi?" Tebak Nana. Gadis berambut sebahu itu tahu jelas sikap sahabatnya yang suka berubah-ubah.

"Enggak kok. Emang gue nggak boleh manggil sayang?" Tanya Zara dengan wajah bodohnya beserta nada suara yang dilembutkan.

"Boleh, sih. Tapi gue jijik dengernya"

***

Istirahat pun telah tiba. Semua murid berhamburan keluar kelas dengan wajah yang begitu ceria. Tidak seperti saat jam pelajaran yang lemas lesu seperti orang yang sudah bosan hidup.

"Naena.. Naena" Panggil Zara.

"Lo manggil gue gitu lagi, gue botakin rambut lo" Ancam Nana. Sedangkan Zara hanya terkekeh kecil mendengarnya.

"Lo gue traktir" Sahut Zara tiba-tiba sontak membuat kedua mata Nana berbinar.

"Serius? Gue bisa beli apa aja kan? Dan banyak tentunya?" Tanya Nana yang diberi anggukan kecil oleh sahabatnya itu.

Mereka pun duduk ditempat yang paling pojok. Tempat favorit mereka.

Sebelum Nana beranjak pergi untuk memesan, Zara menarik tangannya dan memberi isyarat untuk duduk kembali.

"Apaan sih, Ra? Ntar ngantri lagi kalo gue mesennya lama" Keluh Nana.

"Sebentar. Gue mau ngomong" Sahut Zara mulai serius. Nana pun mengangkat alisnya sebelah, seolah berkata 'Apa?'.

"Jawab yang jujur, ya?" Nana pun mengangguk kecil meskipun ada sebuah rasa tidak enak dihatinya.

"Lo kan yang ngasih nomor gue ke si Devan?" Tanya gadis itu membuat Nana tercekat.

"Nggak, kok" Bohong Nana sambil menggelengkan kepalanya dua kali.

"Kalo lo jujur, gue traktir lo sepuasnya. Kalo lo bohong, gue minta lo cium ketek si Devan"

Pernyataan itu sontak membuat Nana melongo. "Kok lo jahat sih, Ra?"

"Justru kalo lo bohong, ntar lo juga yang dosa. Lagian, tinggal jujur aja susah amat" Balas Zara sambil memutar bola matanya malas.

Tapi, kan Devan minta gue jangan kasih tau. Tapi, dari pada gue cium ketek tuh anak mendingan gue jujur. Bisa doer ni mulut kalo nyium ketek triplek. Batin Nana.

"Iya gue yang kasih. Tapi, Devan bilang jangan kasih tau lo" Sahut Nana gugup.

"Kenapa lo nurut aja?"

Nana pun tersipu malu sambil tersenyum. "Gue dikasih tiga lembar duit warna merah. Masa iya gue tolak? Kan sayang"

"Udah kaya masih aja belagak miskin" Umpat Zara membuat Nana terkekeh.

"Berarti lo jadi kan traktir gue?" Tanya Nana dengan mata puppy eyesnya.

"Ya.. justru elo lah yang traktir. Kan disaku lo itu ada duit tiga lembar warna merah" Goda Zara membuat Nana mendengus pasrah.

"Iya deh gue traktir" Balas Nana dengan wajah kusutnya.

***

Bugh!

Arsa terus menghantamkan pukulan demi pukulan kepada wajah tampan milik Devan. Cowok itu seperti monster atau mungkin sudah kesetanan. Ia tidak habis-habisnya menonjok Devan. Sedangkan yang ditonjok masih kebingungan, karena tiba-tiba saja Arsa memukulnya tanpa alasan apapun.

Tidak ada satupun orang yang berani menghentikan pukulan Arsa. Mereka benar-benar takut dengan sosok Arsa. Layaknya Arsa itu memang monster.

Zara dan Nana terlonjak kaget saat melihat Arsa terus saja memukuli Devan tanpa henti ditaman sekolah.

Zara pun secepatnya menghampiri mereka dan berusaha menghentikan pukulan Arsa.

"Arsa cukup!" Teriaknya. Namun, tidak dihiraukan oleh Arsa.

"Arsa! Cukupp!" Ia pun segera mencekal tangan Arsa membuatnya berhenti memukul Devan.

"Lo itu apa-apaan, sih?!" Tanya gadis itu yang masih terbilang berteriak.

"Ini juga karena lo! Bisa-bisa nya lo chatingan sama dia!" Sentak cowok itu.

"Terserah gue, lah. Mau gue chatingan sama tukang bangunan pun nggak ada hubungannya sama lo. Lo itu bukan siapa-siapa gue!" Bentaknya sambil menunjukkan jari telunjuknya pada lelaki tersebut.

"Maka dari itu, gue pengen jadi siapa-siapa lo" Tiba-tiba saja Arsa menurunkan nada suaranya. Terdengar lembut dan halus. Entah ini sebuah keajaiban dunia atau apa. Yang jelas sejarahnya Arsa jarang sekali berkata lembut pada lawan jenis. Kecuali pada Bundanya. Itu pun juga jarang.

ARZARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang