girls time

9.8K 1.6K 50
                                    

Sepulang dari butik aku langsung langsung pergi ke gym langgananku. Aku pun sudah berganti pakaian dengan menggunakan legging dan juga sport bra.

Setiap hari Selasa aku dan Debby memang mengikuti kelas yoga. Tadinya bersama Wina, tapi gadis itu pindah jadi hari Kamis karena setiap Selasa harus rapat mingguan dengan para karyawannya.

“Kamu masih di kantor? Iya, ini aku udah mulai tadi juga udah makan. Siap, nanti aku kabarin kalau udah beres, ya! Oke, love you, bye!”

Setelah itu aku mematikan teleponku dengan Reza dan segera pergi ke lantai empat di mana kelas yoga yang akan aku ikuti diadakan.

Tak lupa aku juga mengirimi Reza foto untuk memberitahu pacarku itu kalau aku benar-benar ada di gym. Reza memang agak posesif, di awal-awal hubungan kami aku memang sedikit tidak nyaman dengan ia yang selalu memintaku melaporkan tentang keseharianku padanya. Namun, lama-lama aku terbiasa. Dan aku tahu, pria itu melakukan ini karena khawatir dan mencintaiku.

Walau kadang aku jadi bermain kucing-kucingan dengannya, dan berujung pada kebohongan.

Aku menghela napas panjang untuk menghilangkan rasa mengganggu—yang terasa berat di dada. Lalu masuk kelas dengan senyum super lebar.

“Hi, Wi! Sini!” teriak Debby seraya melambaikan tangannya. Aku pun segera menghampiri gadis itu dan menggelar matras persis di samping gadis itu.

“Udah lama?” tanyaku seraya melakukan pemanasan.

“Lumayan sih. Gue udah bengek tadi ikut cardio sebentar di sebelah.”

Aku hanya merespons ucapan Debby dengan anggukan mengerti, karena Kak Kiki yang merupakan instuktur yoga kelas ini sudah datang.

Setelah itu kami segera memulai kelas yoga dan mengikuti setiap intruksi yang diberikan Kak Kiki. Lalu untuk dua jam ke depan, kami melakukan yoga sambil ditemani suara Taylor Swift yang menyanyikan The Tortured Poets Departement.

Setelah bertemu Mbak Hanum tadi siang, aku juga jadi lebih baik. Sehingga sekarang perasaanku lebih ringan dan semua indraku seolah bekerja dengan baik pula.

Aku mendengar detak jantungku sendiri, merasakan keringat yang mengalir di punggung dan juga dahi, tulangku yang sesekali bunyi saat digerakan. Aku merasakan itu semua, tubuhku diciptakan dengan begitu sempurna, sehingga aku tidak punya alasan untuk tidak mencintai diri sendiri.

***

Setelah keringat kami kering aku dan Debby langsung membersihkan diri di kamar mandi gym. Setelah rambutku yang basah agak kering, aku pun segera keluar dari kamar mandi dan berganti baju dengan dress santai yang aku bawa dari rumah di ruang ganti.

Aku menyisir rambut, menggunakan skincare routine, dan terakhir menyemprot minyak wangi. Setelah itu aku turun ke bawah dengan Debby seraya menenteng tas gym di tangan kanan masing-masing.

Lalu kami berjalan ke parkiran, memasukan tas gym ke kursi belakang, dan melajukan mobil ke salah satu mall terdekat. Setelah ini aku dan Debby memang berniat untuk hangout keliling mall untuk menghilangkan stress karena pekerjaan kami yang menggunung minggu ini.

Sebelum turun dari mobil aku mengirimi pesan pada Reza jika aku pergi dengan Debby. Lalu Debby mengapit lenganku dan kami pun segera memasuki mall untuk jalan-jalan.

Malam ini kami nggak punya tujuan pasti. Kami berdua benar-benar hanya berjalan berkeliling sambil minum latte yang tadi kami beli di Starbucks dan sesekali berhenti di toko baju saat melihat ada dress atau rok lucu.

Hingga akhirnya kami berhenti di sebuah toko aksesoris dan melihat berbagai cepit rambut lucu.

“Hah, untungnya kemaren gue nggak jadi potong rambut karena depresi. Jadi, bisa deh beli pita-pita lucu ini,” ujarnya seraya melihat-lihat pita dengan berbagai warna yang digantung di etalase.

“Terima kasih buat mulutnya Wina yang kelewat pedes dan akhirnya bikin lo nggak jadi potong rambut kayak anak punk dan warnain jadi mejikuhibiniu.”

“Ugh, please deh ... Gue kalo inget kelakuan gue sendiri pas baru putus bener-bener bikin merinding. Kek, tahu nggak sih lo, Wi ... Gue tahu begging dan spam chat minta kejelasan ke mantan itu goblok. Tapi tetep gue lakuin juga.”

“Nggak papa, Deb. Putus kan memang sakit. Wajarlah kalo lo sampai ngelakuin apa aja biar hati lo nggak sakit. Dan tenang aja, semua rahasia lo aman di gue ... Asal lo traktir gue sebagai upah tutup mulu," ujarku seraya mengedipkan satu mata.

Debby memutar bola mata malas. “Ye, sialan! Tapi oke deh, lo boleh beli apa aja malam ini. Gue yang traktir! Eh, gimana kalo kita kasih hadiah selamat datang buat Bayu?”

Aku menepuk bahu gadis itu dua kali. “Gas, Buk, gas terus pedekatenya!” seruku yang sontak membuat pipi Debby kembali memerah dan salah tingkah.

Hal itu semakin membuatku semakin semangat menggoda gadis itu, dan membuat Debby protes dengan sikap malu-malu kucingnya yang lucu.

Kami berjalan sambil mengalungkan lengan di lengan satu sama lain, lalu menjelajahi toko dengan semangat dan membeli barang-barang lucu dengan menghibur diri sebagai self reward, tapi sebenarnya memang boros saja.

fortnight.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang