before the storm

8.6K 1.3K 71
                                    

Aku turun dari O-car lalu tersenyum lebar saat melihat rumah dua lantai yang begitu familiar. Jungkat-jungkit warna merah putih dan ayunan kembar itu masih ada di halaman, taman bunga kesayangan Bu Reni juga masih penuh dengan bunga-bunga cantik yang terus berbunga, karena memang dirawat dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang.

Halaman depan panti asuhan yang biasanya ramai, kini tampak lengang. Namun maklum saja, karena sekarang para anak panti pasti tengah bersekolah untuk menuntut ilmu. Agar punya masa depan yang lebih baik.

Karena nyatanya terus mengeluh soal nasib buruk yang kita alami itu nggak bakal mengubah apapun. Makanya, kalau ingin berubah, ya kita sendiri yang harus bergerak. Dan nyatanya lagi, usaha nggak bakal mengkhianati hasil. Kamu selalu mendapat apa yang kamu tanam. 

Dibantu oleh Abang O-car, aku membawa dua puluh lima kotak makanan Jepang yang tadi aku beli di jalan. Dan aku langsung memeluk Ibu Reni erat begitu wanita paruh baya itu menyambutku di depan teras.

“Selamat siang Ibu. Apa kabar? Maaf aku baru sempet datang. Kerjaanku lagi hectic banget.”

Ibu Reni mencium kedua pipiku sebelum balas memelukku sama eratnya. Pelukan wanita itu begitu hangat dan nyaman. Aku memang nggak pernah tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh ibuku sendiri, tapi aku yakin pelukan ibu kandungku nggak ada bedanya dengan pelukan wanita yang saat ini tengah memelukku erat.

“Kabar Ibu baik. Kamu sendiri apa kabar, nduk? Haduh, kamu makan apa nggak? Kok, jadi kerempeng gini?” omel Ibu Reni seraya melepaskan pelukannya, lalu memindai badanku dari atas ke bawah.

“Duh, si Ibu mah. Badannya Mbak Dewi mah bagus gitu kok dibilang kerempeng. Nge-gym sama yoga mulu tahu! Aku juga pengen punya badan kayak begitu! I miss you, Mbak!” seru Mentari seraya menubruk tubuhku.

“I miss you too, manis. Demam kamu belum turun?”

“Udah baikan sih habis minum obat. Cuma masih lemes, jadi izin sekolah sekali lagi.”

“Yaudah banyakin istirahat aja. Mbak beliin makanan Jepang buat adek-adek panti. Kamu makan duluan aja, abis itu istirahat lagi.”

“Siap, Mbak!”

Setelah itu ia kembali ke kamar sambil membawa satu kotak makanan Jepang yang tadi aku bawa.

***

Dapur panti rasanya sangat familiar. Karena sejak bayi aku memang sudah dibesarkan di panti ini. Walau terbiasa melihat Ibu Panti memasak, aku tetap saja tidak jago masak. Bikin telur ceplok saja gosong, makanya daripada aku mengacaukan segalanya—keseringan Ibu Reni menyuruhku untuk diam saja dan jadi tukang icip.

Tanpa sadar senyuman bertengger di pinggirku. Tempat ini jadi saksi aku tumbuh dan berkembang, tempat ini jadi saksi saat aku bahagia dan sedih. Tempat ini adalah rumah, tempat di mana aku tahu akan selalu diterima saat lagi-lagi dunia membuangku seperti saat baru pertama kali lahir ke dunia.

“Makasih buat makanannya. Kamu tahu, kamu nggak perlu repot-repot begini.”

“Aku nggak repot kok, Bu. Dan aku ini anak Ibu, makanya Ibu boleh ngerepotin aku kapan aja.”

Setelah itu aku membantu Ibu Reni untuk menatap makanan di dapur. Agar nanti saat anak panti pada pulang sekolah, mereka bisa langsung makan dengan nyaman.

Selama menyiapkan makanan kami saling mengobrol. Ibu Reni banyak menggodaku soal Reza yang membuat pipiku memanas, dan kami juga membicarakan soal masalah panti dan perkembangan anak-anak yang mengarah ke banyak hal positif.

“Oh, iya Dewi. Minggu ini kamu ada acara nggak?”

“Nggak ada, Bu. Palingan siap-siap soalnya minggu depan mau ke Jogja, ke nikahannya Wina dan Alexandre.”

“Kalo gitu, tolong anterin Mentari dan Ilham lomba lukis, ya? Hadiahnya lumayan. Tapi Minggu Ibu ada kebaktian di gereja. Jadi, nggak bisa antar.”

Aku langsung mengangguk mengiakan. “Siap, Bu. Nanti kirim alamatnya aja, ya.”

Lalu kami kembali mengobrol tentang banyak hal, sembari sesekali bernostalgia tentang masa lalu.

Tentang betapa bangganya Ibu Reni karena aku sudah banyak berubah dan lebih bahagia. Tentang pekerjaanku yang begitu aku nikmati dan lanjutan hubunganku dengan Reza yang seharusnya aku langsung tahu mau dibawa ke mana.

Hanya saja, saat pertanyaan itu dilontarkan dan tenggelam di kepala. Ada beban yang seharusnya tidak ada di sana.

Malah aku membayangkan hal lain, yang membuatku langsung memaki diriku sendiri karena aku jelas-jelas aku sudah gila!

fortnight.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang