a possesive boyfriend

8K 1.3K 54
                                    

Tadi malam aku lupa menyalakan ponselku. Sehingga saat aku nyalakan, benda pipih itu langsung menampilkan ratusan notifikasi. Ada tiga puluh pesan Whatsapp dari Reza dan sepuluh panggilan tak terjawab dari pria itu.  

Sial, mati aku!

Aku yakin pacarku itu sangat marah. Karena Reza sangat tidak suka saat aku hilang tanpa memberi kabar apa pun.

Aku menggigit bibir bawahku. Lalu mencari nomor telepon Reza di kontak dan segera meneleponnya. Pada nada dering ketiga, pria itu menjawab teleponnya.

"Hal—"

"Kamu ke mana aja Dewi?" geram Reza di ujung sana.

Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan sederhana Reza yang terdengar seperti eksekusi mati. "Aku tahu aku salah, Za. Aku minta maaf karena kemarin nggak ngasih kamu kabar. Aku benar-benar—"

"Kamu nggak jawab pertanyaan aku, Wi! Aku nanya kamu ke mana kemarin sampai nggak ngasih kabar, bukannya minta kamu minta maaf!"

Aku membasahi bibirku. "Kemarin aku ke Kota Tua.”

"Ngapain kamu ke sana? Pergi sama siapa? Kenapa nggak bilang dulu?" Pria itu tertawa sinis. "Kamu enak liburan seneng-seneng sedangkan aku  di sini khawatir setengah mati sampe nggak enak makan. Kamu mikirin perasaanku nggak, sih? Apa susahnya ngasih kabar?"

"Aku tahu aku salah makanya aku minta maaf di awal. Dan soal pertanyaan kamu, please, bisa nanya satu-satu? Aku bingung jawabnya kalo kamu nanya beruntun gitu. Sekali lagi aku minta maaf, Za....”

Reza mengembuskan napas panjang. "Tolong jangan diulangi, Wi. Sumpah aku khawatir banget. Kamu inget, kan, apa yang terjadi saat kamu nggak ngabarin aku? Kamu hampir mati!”

Kejadian dua tahun lalu kembali memenuhi kepala. Membuat aroma obat-obatan yang membuat mual kembali terlintas di kapala, dan membuatku mati-matian menahan muntah.

Lalu aku menganggukkan kepala walau tahu Reza tidak melihat tindakanku ini. "Aku minta maaf, Za. Aku janji nggak bakal ulangin lagi. Maafin aku oke, Sayang?"

“Tolong jangan diulangin lagi, Dewi.” Perkataan pria itu jadi lebih lembut. “Kemarin kamu ke Kota Tua sama siapa? Kenapa reject panggilan aku? Aku bener-bener khawatir Dewi. Sampai rasanya aku mau gila."

"Maafin aku karena udah bikin kamu ngerasa gitu. Kemarin aku pergi ke Kota Tua sama ... Debby. Aku nemenin dia buat riset komik terbarunya. Katanya dia butuh referensi buat gambar klasik," jawabku seraya menggigit bibir. Aku berbohong, karena entah kenapa begitu sulit mengatakan yang sebenarnya. Jika aku bersenang-senang bersama Bayu.

"Terus kenapa kamu reject telepon aku? Kenapa handphone kamu mati?" tanya pria itu masih melanjutkan interogasi.

Aku memejamkan mata. "Aku reject panggilan kamu karena Debby ngajakin diskusi. Nggak enak tiba-tiba ngangkat telepon padahal Debby lagi ngajak ngobrol serius. Terus aku baru sadar kalo handphone-ku ternyata mati pas sampe di Kota Tua. Itu kesalahanku, karena aku emang lupa nge-charge."

Satu kebohongan lagi.

"Malemnya?"

"Malemnya aku kecapean. Jadi, abis mandi aku langsung tidur. Jadinya nggak sempet ngurusin ponsel." Kali ini aku mengatakan yang sejujurnya. Tadi malam aku memang langsung teler setelah mandi hingga lupa menyalakan ponsel.

"Terus kenapa kamu nggak bilang jauh-jauh hari kalo mau ke Kota Tua sama Debby? Aku nggak suka kamu pergi diem-diem tanpa ngasih tahu aku dulu. Aku khawatir Dewi," ujar pria itu penuh penekanan.

"Aku bukannya nggak mau ngasih tahu kamu, Za. Tapi Debby ngajakinnya dadakan. Nggak enak juga mau nolak. Lagian biasanya kalo mau pergi aku selalu bilang, 'kan? Aku tahu kali ini aku salah. Makanya aku minta maaf
...."

fortnight.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang