Para warga Desa Sukorejo mulai berlalu-lalang saat jam menunjukkan pukul 7 pagi.
Aktivitas yang sejenak sepi perlahan semakin ramai, terutama saat seorang wanita tengah melintas mengendarai motornya di jalanan yang masih terbilang lengang.
Ibu-ibu yang tengah berbelanja di tukang sayur memperhatikan tanpa berkedip, sementara tangannya tetap meraih-raih sayuran tanpa melihat apa yang diambil.
Tepat setelah wanita itu sedikit jauh, ibu-ibu saling menatap, antena gosip semakin menjulang tinggi, siap meluncurkan berbagai opini-opini tanpa riset mengenai orang yang baru saja mereka lihat.
"Eh, lihat si Yeni, tuh. Pantas aja usia udah hampir kepala tiga belum nikah, kerjaannya ngelayap terus. Mana ada orang kerja sampai pulang pagi gini coba?" Bu Kiyem selaku ketua pergosipan tukang sayur langsung meluncurkan serangan paling awal.
Bu Markonah menoleh, ikut menyeletuk membenarkan ucapan Bu Kiyem, "Bener, Bu. Astaga, jam segini baru pulang, pakai alasan kerja segala. Palingan cuma ngelayap, pantas dia ngga cepet nikah, padahal anak saya yang lebih muda dari dia udah punya anak dua."
"Bener, banget kata kamu. Di desa ini, tuh, yang belum nikah di usia segitu si Yeni doang. Semua teman-teman Yeni semasa sekolah dulu udah pada nikah, dia aja yang masih betah sendiri. Ya, nggak heran, sih, kalau punya suami mana bisa keyalapan dia. Nggak mungkin banget. Palingan juga dia mau cari suami yang bisa dibodohin, biar bisa kelayapan seenaknya. Sayang banget cowok kayak itu di sini nggak ada, kecuali yang nggak normal."
Bu Kiyem semakin semangat meluncurkan gosipan, tanpa peduli ucapannya benar atau tidak. Memang benar, gosipan tidak akan sedap tanpa bahan tambahan.
Lembu punya susu, sapi punya nama. Yeni yang mengalami, mereka yang mencela. Selalu saja begitu.
"Bener itu, Bu," balas Bu Ilmi.
Si tukang sayur hanya bisa menggeleng kecil, mengabaikan ibu-ibu yang bergosip ria, lebih mengutamakan para ibu yang akan membayar belanjaan.
***
Yeni menghela napas, memasuki rumah setelah mengucap permisi.
Sang ibu yang kebetulan tengah memotong sayur langsung tersenyum, menyambut kepulangan sang anak walau merasa ada yang aneh. Pasalnya, pukul 05.30 tadi Yeni berangkat, tetapi sebelum pukul 8 sudah pulang.
"Kok, udah pulang? Biasanya siang," ujar Sumiati.
Yeni tersenyum tipis lalu menjawab, "Ada pertukaran shift, Yeni diganti shift malam."
Sumiati mengangguk paham, kembali fokus pada sayuran. "Ya sudah, beres-beres sana, habis itu bantu ibu masak untuk sarapan."
"Iya, Bu."
Selepas kepergian Yeni, Sumiati hanya mendengkus, berusaha meredam rasa kesal akibat mulut-mulut tetangga yang pasti akan bergosip ria.
Yeni memang topik paling utama pergosipan ibu-ibu desa karena di usianya yang menginjak 26 tak kunjung memiliki pasangan. Bukan tanpa alasan, hanya saja belum menemukan yang cocok.
Usai membantu sang ibu dan sarapan, Yeni yang merasa kuku kakinya sedikit panjang langsung meraih pemotong kuku di atas meja, mencari posisi paling pas untuk mendapat cahaya. Ambang pintu.
Baru saja memotong kuku dua jari, Sumiati yang datang dari belakang langsung meluncurkan omelan membuat Yeni terperanjat.
"Anak perawan, kok, duduk di pintu, Yen. Nggak baik, pindah ke dalam sana! Sudah berapa kali ibu bilangin, ngeyel banget kamu!"
Yeni bangkit dari tempatnya duduk, menunduk di hadapan sang ibu yang sedang melipat kedua tangan di depan dada.
Nyalinya benar-benar menciut.
"Maaf, Bu, Yeni lupa."
Tanpa membantah lagi, Yeni beralih duduk di salah satu sofa usang yang beberapa bagiannya bolong. Biarlah minim cahaya, yang penting tidak mendengar omelan Sumiati lagi.
"Jangan diulangi lagi!"
Sumiati melangkah ke luar, meninggalkan Yeni yang masih menunduk sebelum akhirnya melanjutkan memotong kuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
ChickLitCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...