9. Pecat Hendak Menjadi Ular

31 12 0
                                    

Yeni baru saja selesai mandi, rambut sepunggungnya masih basah karena keramas.

Gadis berwajah bulat itu menghampiri sang ibu yang tengah memotong sayur. "Sini, Bu, Yeni bantu," pintanya lembut.

Menoleh ke arah suara, Sumiati langsung menyerahkan pisaunya ke arah Yeni lalu masuk ke dalam hendak menyiapkan bumbu masakan.

Tak butuh waktu lama, Yeni menyelesaikan kegiatannya, menyerahkan pada Sumiati di dapur lalu kembali ke ruang tamu. Pandangannya mengedar, menatap sekitar, berharap ada sesuatu yang bisa dilakukan.

Senyumnya mengembang saat mendapati lantai yang terlihat kotor. Gadis itu meraih sapu di belakang pintu, menyapu lantai sambil bersenandung kecil.

"Yeni, ini yang kamu sapu apa? Kenapa masih kotor di bawah kursi ini?"

Baru saja menyelesaikan kegiatan menyapunya, tinggal membuang sampah, tetapi Sumiati sudah membuat langkahnya untuk meletakkan sapu kembali berhenti.

Menoleh ke bawah kursi, benar kata Sumiati. Masih terlihat kotor, ditambah sebuah bungkus kerupuk yang tergeletak begitu saja. Seingatnya tadi sudah dia bersihkan, tetapi mengapa kotor seperti ini?

"Tadi udah Yeni sapu, kok, Bu." Yeni berjongkok, mulai menyapu bagian bawah kursi yang menjadi masalah pagi-pagi.

Sumiati mendengkus, duduk di salah satu kursi yang berada di seberang kursi kotor itu. "Anak perawan itu kalau nyapu yang bersih, toh, Yen. Emangnya kamu mau punya suami yang berewokan? Enak juga nanti nggak usah beli sapu. Sapu aja pakai jenggotnya," tutur Sumiati sambil memperhatikan anak gadisnya.

Selaku yang mendengar hal itu, Yeni hanya bisa menghela napas. Sudah biasa ibunya membahas hal ini. Jika begini akan begitulah, jika begitu akan begini, dan lain sebagainya. Ada saja yang membuat Yeni menjadi sasaran omelan setiap hari karena kepercayaan orang-orang zaman dahulu yang masih melekat dalam diri Sumiati. Entah siapa yang mengajarinya.

"Wah, udah dibersihin aja rumahnya. Tau aja kalau aku bakal ke sini."

Mata Yeni membulat kala mendengar itu. Pandangannya dia alihkan, menatap laki-laki dengan setelan kemeja dan celana jeans yang kini berdiri di hadapannya sambil mengembangkan senyum.

Dasar pecat ingin menjadi ular! Tidak mungkin Yeni membersihkan rumah hanya untuknya.

Mengerutkan kening, Yeni bertanya, "Eh? Alby? Ada apa ke sini?"

"Nggak ada, mau ketemu kamu."

Yeni memutar bola matanya, lelah dengan segala ucapan Alby yang selalu menggoda. Dasar buaya!

"Siapa yang da---oh, Alby? Ada apa ke sini, Nak? Mau kasih data penerima BLT?"

Astaga, Yeni menepuk keningnya sendiri. Selalu saja begini, yang ada di otak ibunya hanya uang. Lihat saja, belum apa-apa sudah menanyakan BLT.

"Eh, nggak, Bu. Mau ketemu Yeni aja," jawab Alby canggung, sementara Sumiati hanya mengangguk kecil lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Alby langsung duduk di kursi yang berada di teras rumah Yeni setelah si pemilik mempersilakan. Anak kepala desa itu tersenyum lebar, menatap Yeni yang baru saja duduk, selesai meletakkan sapu.

Berbincang sejenak, Alby terlonjak saat ponselnya berdering. Ayahnya menelepon, meminta dia kembali ke balai desa karena ada yang perlu diurus. Menyebalkan.

Selepas kepergian Alby, Sumiati kembali ke teras, menghampiri anaknya yang hendak masuk. "Dia ngapain tadi?"

"Nggak ada, Bu, cuma basa-basi sedikit."

Sumiati mengangguk kecil sebelum akhirnya berceletuk, "Dia tukang modus juga, ya. Alasan aja ke sini. Oh, iya, kalau dia dekatin kamu jangan mau, Yen. Ibu nggak setuju."

"Kenapa, Bu?"

"Kamu tau rumah Pak Kepala Desa, 'kan? Arah rumah dia dari rumah kita itu ke barat, setelahnya belok ke utara. Nggak cocok, Yen, nanti salah satu pasti kalah. Entah kamu atau Alby, pasti ada yang jadi budak. Kalau kamu ikut ke sana, kamu bakal nurutin apa pun kata Alby sampai dibegoin aja mau. Begitu sebaliknya, kalau Alby yang ikut ke sini, dia jadi kayak suami bodoh, ngikutin semua kata-kata istri."

Jika sudah membahas pasal primbon, Yeni tak mampu menjawab apalagi membantah. Biarkanlah Sumiati beranggapan demikian. Jika dijawab akan semakin panjang dan membosankan.

Yeni mengangguk paham lalu masuk ke dalam kamar. Lagi pula, dia juga sedikit risi dengan sikap Alby. Dilarang oleh sang ibu membuatnya semakin yakin untuk menolak kedatangan laki-laki itu sewaktu-waktu.[]

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang