Setelah kejadian Yeni dipindahkan jadwal, kali ini dia benar-benar memastikan tidak ada perubahan jadwal lagi. Dia tidak ingin jika tiba-tiba ada perubahan lagi, harus pulang setelah tiba di tempat baru beberapa menit. Itu sama saja dia menconteng arang di muka.
"Bu, Yeni berangkat," pamit Yeni sambil mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangan sang ibu. Namun, tangan Sumiati menahannya.
Wanita itu terlihat berpikir, berusaha memastikan perhitungannya benar atau tidak. Beberapa detik setelahnya, dia angkat bicara, "Kamu nggak bisa libur aja hari ini, Yen?"
Mengerutkan kening, Yeni duduk di samping sang ibu. "Memangnya kenapa, Bu?"
"Weton hari ini kurang baik, Yen. Ibu takut kamu kenapa-napa."
Yeni menunduk, bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin jika dia harus menelepon atasan, berkata bahwa hari ini dia izin. Terlebih, dia sudah janji pada temannya akan menjemput karena kendaraan temannya tengah digunakan sang adik.
"Bu, jangan terlalu khawatir. Coba jangan berpikiran buruk, percaya sama Yeni kalau dia pasti baik-baik saja," Bustami yang duduk agak jauh menyeletuk setelah meletakkan kembali gelas berisi kopi.
Yeni berbinar, berharap sang ayah berhasil membujuk ibunya yang keras kepala. Harus bilang apa dia nanti jika tiba-tiba membatalkan janji. Nada bisa kesal. Terlebih, Nada pun bisa-bisa tidak ada yang mengantar.
"Nggak bisa gitu, Pak. Sebagai ibu, ya, aku pasti khawatir sama Yeni. Gimana kalau Yeni di jalan kenapa-napa? Ibu juga nggak tega nanti kalau Yeni kenapa-napa," sahut Sumiati tak mau kalah.
Menurut perhitungannya, hari kurang baik untuk pergi ke luar rumah terlalu jauh, terlebih mengendarai motor. Jika tidak kecelakaan, jatuh, akan ada tragedi lain. Sumiati tidak ingin itu terjadi pada anak satu-satunya.
"Bu, coba Ibu pikir. Kalau Yeni nggak boleh kerja, gimana dia izin sama atasannya? Mendadak gini. Udah, biarin aja Yeni kerja. Percaya aja kalau Yeni baik-baik saja di jalan, asal hati-hati."
Baru saja Sumiati hendak menjawab, Bustami meliriknya, melemparkan tatapan tajam membuat sang istri bungkam.
Melirik ke arah Yeni, Sumiati menghela napas. "Ya sudah, kamu berangkat aja. Hati-hati di jalan, ya, Yen."
Yeni mengangguk sekali lalu menyalami tangan orang tuanya satu per satu.
***
Terik matahari membuat matanya memicing, sedikit susah membuka mata saat matahari menerpa langsung ke wajahnya. Bekerja di shift siang bukanlah hal baik.
Bagi mereka yang suka berdandan, tentu saja musibah besar karena harus rela make up-nya luntur. Namun, bagi Yeni bekerja shift siang membuatnya susah menatap jalanan dengan benar. Terlebih, cahaya matahari yang sangat terik di musim kemarau ini.
Terlalu sibuk merutuki panas, Yeni sampai tidak memperhatikan jalan. Lobang yang cukup besar membuatnya terkejut, ditambah bunyi 'dubrak' yang cukup keras karena menerobos jalanan berlobang dengan laju cukup cepat.
Belum sempat Yeni mampu mengendalikan motornya yang oleng, sebuah motor dari arah berlawanan membuatnya langsung kehilangan kendali.
Motor Yeni terjatuh tepat di atasnya. Orang-orang sekitar jalan langsung berkerumun kala mendengar bunyi yang cukup keras. Dengan sigap membantu Yeni dan korban satunya yang kesusahan berdiri.
Yeni dan motornya terlempar ke tengah persimpangan, tepat di dekat patung garuda pancasila yang berdiri kokoh di tengah jalan.
Tangannya sedikit sulit untuk digerakkan, sementara motornya terlihat mengenaskan beberapa meter di depan sana.
Para warga gesit memapah Yeni, termasuk beberapa pengendara yang kebetulan melintas.
"Ini, minum dulu airnya." Seorang laki-laki menyodorkan sebotol air mineral ke arah Yeni. Gadis itu langsung menerimanya, meminum sedikit lalu menyerahkannya kembali.
Jantungnya berdetak kencang, masih belum bisa percaya atas apa yang baru saja terjadi.
Motornya dibawa ke tepi oleh beberapa warga, diamankan dan meminta warga segera bubar agar tidak ada pihak kepolisian yang datang.
"Ini, hidung kamu luka." Lagi, laki-laki yang sama menyodorkan tisu ke arah Yeni.
Yeni hanya menuruti, sementara kepalanya masih pusing. Otaknya berpikir keras apa yang akan dia katakan pada Sumiati nanti.
Setelah keadaannya sedikit tenang, Yeni menelepon Nada, memberi kabar bahwa dia tak bisa menjemput dan meminta tolong Nada untuk mengizinkan karena kecelakaan. Nada sendiri langsung paham, hanya mengiyakan permintaan temannya.
"Ayo, Nduk, saya antar. Itu motornya biar dibawa sama pick up. Rumah kamu di mana?"
"Di Sukorejo, Pak," sahut Yeni pada pria kurus yang membantunya.
Yeni langsung naik ke boncengan motor pria itu dibantu beberapa warga, sementara di belakangnya ada seorang remaja perempuan yang menahan agar tubuhnya tidak jatuh.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
Literatura FemininaCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...