Tidak bisa dipungkiri, Yeni merasa gemetar untuk pulang. Dia memikirkan bagaimana reaksi ibunya nanti. Pasti akan murka.
"Ya ampun! Kamu kenapa, Yeni?" Sumiati yang hendak pergi ke toko, melihat anaknya dibawa pulang oleh orang asing beserta motornya yang penyok di atas pick up membuat dia berteriak histeris.
"Tadi anaknya kecelakaan di Pancasila, Bu. Lawannya parah juga, barusan dibawa ke puskesmas," ucap pria yang mengantar Yeni.
Sumiati menghela napas, berusaha menahan emosinya di dalam sana. "Terima kasih, Pak, sudah membantu anak saya."
"Sama-sama, Bu."
Pria dan remaja itu pergi, sementara Yeni dipapah Sumiati ke dalam rumah.
Motornya sudah berada di halaman. Spionnya patah sebelah, sementara velg motor itu sedikit penyok. Lampu bagian depan pun pecah, bagian samping motor tergores parah, ditambah plat belakang yang bengkok.
"Kan, ibu udah bilang, nggak usah kerja, hari ini wetonnya kurang baik. Ngeyel banget kamu, sama kayak bapakmu. Harusnya kamu dengerin Ibu, Yeni. Kalau kamu dengerin Ibu, kamu nggak bakal kayak gini sekarang. Lihat, jalan aja kamu pincang gini. Aduh, ini juga baju kamu sampai sobek gini," Sumiati mengomel panjang lebar sambil mengobati luka-luka di tubuh Yeni, terutama bagian pipi kirinya yang lecet tergores aspal.
"Ada apa, toh, Bu? Rame-rame gini."
Bustami yang baru saja keluar dari dalam saat mendengar keributan langsung mengambil posisi duduk di samping Yeni, menyodorkan air mineral yang dia bawa dari dalam untuk minum obat tadi.
"Lihat, nih! Sudah aku bilang jangan kerja, ngeyel aja semua. Gini, kan, jadinya! Coba kalau tadi dengerin apa kata aku, nggak bakal kecelakaan ini si Yeni."
Bustami menghela napas lelah lalu menjawab omelan istrinya, "Udahlah, Bu, udah terjadi mau gimana lagi? Ibu ngomel juga nggak bakal bikin Yeni sembuh, malahan makin parah. Jadikan pelajaran aja. Yeni, kamu izin aja kerja beberapa hari sampai kamu sembuh. Soal motor, nanti bapak jualkan sapi dulu untuk beli motor baru. Motor kamu ringsek parah, lebih baik beli baru, kalau dibenerin juga bakal banyak butuh biaya."
"Iya, Pak," sahut Yeni lirih.
***
Malam harinya, tangan kiri Yeni benar-benar tidak bisa digerakkan. Kakinya pun susah untuk berjalan, padahal tadi sore dia masih bisa ke kamar mandi.
"Yeni, ayo, Ibu bantu. Tukang urutnya udah dateng," ajak Sumiati sambil memapah anaknya ke ruang tamu.
Di sana, seorang wanita tua tersenyum ramah, bersiap mengurut Yeni yang semakin susah berjalan.
Belum selesai mengurut, rintihan Yeni pun masih terdengar, sepasang suami istri yang tampak asing turun dari motor mendatangi Bustami yang duduk di teras sambil menyesap kopi.
Setelah dipersilakan duduk, pria paruh baya berambut ikal itu berbicara, "Maksud kedatangan kami ke sini untuk membicarakan tentang kecelakaan antara anak Bapak dan Ibu dengan anak kami."
Jeda sejenak, sebelum akhirnya sang istri melanjutkan, "Kami mendapat informasi dari warga yang mengantar anak Ibu pulang bahwa rumah Ibu di sini. Jadi begini, anak kami di puskesmas, keadaannya cukup parah. Kami ingin meminta ganti rugi karena menurut para saksi kecelakaan ini disebabkan oleh anak ibu yang tidak memperhatikan jalan."
Mata Yeni membulat seketika. Apa katanya? Tidak memperhatikan jalan? Ini karena jalan berlobang itu. Lagi pula, anak mereka juga melaju sangat kencang dari arah berlawanan. Mana Yeni tahu.
Terlebih, sepertinya anak mereka hendak berbelok ke jalan yang kanan, tanpa menghidupkan lampu instruksi. Siapa pun akan terkejut jika tiba-tiba motor melaju kencang tiba-tiba berbelok tanpa isyarat lampu.
Sebenarnya ini menurut para saksi atau ibu ini sendiri yang berasumsi?
Baru saja Yeni hendak berbicara, Bustami sudah menyambar terlebih dahulu, "Kalau begitu, saya akan membayar biaya pengobatan anak Bapak dan Ibu saja. Untuk kendaraan, mohon maaf. Ibu dan Bapak bisa lihat sendiri bagaimana keadaan anak kami dan motornya."
Bagi Bustami yang paling malas bermasalah, tentu langsung mengiakan. Namun, Sumiati gondok setengah mati. Ingin menjawab, meminta kesaksian Yeni sendiri, Bustami sudah memberinya lirikan mata pertanda diam.
Sial memang! Seperti meminta tulang pada lintah. Sampai kapan pun, Sumiati tidak akan bisa membantah keinginan suaminya.
"Ini mungkin cukup untuk pengobatan anak Bapak dan Ibu. Saya harap, setelah ini tidak ada keributan apa-apa lagi."
Bustami menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu, membuat pasutri di hadapannya tersenyum senang dan pamit pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
Literatura FemininaCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...