Sore hari memang paling enak jika berjalan kaki keliling desa, mengenang masa kecilnya saat bermain di sungai, di taman, mengambil mangga tetangga.
Sepanjang jalan, depan rumah warga sebagian besar memiliki pohon mangga yang mulai berbuah, termasuk di depan rumahnya. Pria itu menoleh ke salah satu pohon mangga, di mana seorang gadis tengah melompat-lompat, berusaha menggapai buah yang dahannya lebih rendah.
"Eh?" Gadis itu menoleh, mendapati Arka yang memegang sebuah mangga, menyodorkan ke arahnya.
Arka tersenyum tipis. "Kamu mau ambil ini, 'kan?"
Mundur satu langkah, Yeni menunduk malu. "Em ... i-iya, makasih."
Dia meraih mangga yang Arka sodorkan tanpa berani menatap. Jantungnya berdebar tanpa alasan, membuat Yeni menggigit bibir bawahnya. Bisa-bisanya dia bertemu Arka di saat-saat memalukan seperti ini. Saat di mana dia tak mampu menggapai buah yang tumbuh rendah karena tubuhnya pendek.
"Cepat tinggi," tandas Arka lalu pergi tanpa permisi.
Spontan, Yeni mendongak, menatap punggung Arka yang semakin jauh. Apa katanya? Cepat tinggi? Itu harapan atau ejekan?
Yeni menunduk, memandang dirinya sendiri. Memang pendek, tidak perlu diberi tahu. Dia sadar akan hal itu, tetapi ....
Tak mau dibuat semakin kesal, Yeni berbalik untuk pulang. Di ambang pintu, dia bisa melihat Sumiati berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Wanita itu menatapnya datar seakan-akan berbuat kesalahan besar.
"Ini mangganya, Buk." Yeni menyerahkan mangga yang Sumiati minta untuk dibuat pencit besok pagi.
Sumiati menerima mangga yang Yeni sodorkan lalu menatap ke arah Arka pergi tadi. "Yang tadi itu cucunya Nek Misti, bukan?"
Menatap Sumiati, Yeni mengangguk ragu. Untuk apa ibunya bertanya pasal Arka? Selama ini, dia tidak pernah menyinggung sedikit pun tentang Arka, ibunya pun terlihat tidak peduli pada pria itu.
"Ngapain dia?"
"Nggak, cuma bantu ambilin mangga tadi."
"Oh. Ibu minta kamu jangan berurusan sama keluarga anaknya Nek Misti, ya."
Lagi-lagi Sumiati melarang dia dekat dengan pria. Tak terhitung Arka pria nomor berapa, tetapi apa boleh buat?
Yeni menghela napas, memberanikan diri untuk bertanya alasan ibunya, "Ke-kenapa, Buk?"
"Nggak pa-pa, Ibu cuma kurang suka sama menantunya Nek Misti. Sombong banget orangnya." Sumiati tersenyum tipis, mengusap rambut anaknya pelan.
Kesan pertama Sumiati bertemu Tina memang kurang baik. Saat Sumiati pergi ke toko, dia bertemu Tina yang tengah membeli bahan pokok di toko yang sama. Cara bicaranya benar-benar sombong, meninggikan diri sendiri. Bahkan, dia sampai sedikit menjaga jarak dari Sumiati, entah apa alasannya. Sejak saat itu, Sumiati menghindari tatap muka dengan wanita kota sombong itu. Bahkan, Sumiati rela membeli sayur di tukang sayur yang lebih jauh karena enggan berurusan dengan Tina.
"Ibu tau sendiri dia sombong banget. Kata ibu-ibu di tukang sayur juga dia suka pamer, songong, cerewet lagi."
Tak mampu menjawab, lidah Yeni terasa kelu. Memang benar kata orang, indah kabar dari rupa. Sesuatu yang didengar akan lebih indah daripada kenyataannya.
Yeni sendiri tidak tahu bagaimana sikap ibu Arka, dia hanya pernah bertemu satu kali saat mengantar kue. Itupun kesannya tidak seburuk yang Sumiati jabarkan.
Walau memang cara bicaranya terkesan angkuh dan sombong, ibu Arka tidak terlihat seburuk itu.
Mengembuskan napas, Yeni masuk untuk bersiap mandi setelah Sumiati pergi. Rasanya lebih baik jika dia mandi, membersihkan diri agar terasa lebih segar. Tak perlu memikirkan hal-hal yang memberatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
Literatura FemininaCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...