6. Tajam Pisau Karena Diasah

39 9 0
                                    

"Cepat, Arka! Kamu lama banget!" teriakan Tina begitu lantang, membuat Arka yang berada di ambang pintu menghela napas kesal.

Sudah tahu Arka kesusahan membawa tiga tas sekaligus, masih saja meneriaki, berkata lama pula.

"Iya, Ma, ini masih jalan."

Setelah memastikan anak dan istrinya masuk ke mobil, Rudi melajukan kendaraannya menuju desa tempat sang ibu tinggal.

Saat tengah menyelesaikan berkas tadi, tiba-tiba tetangganya di desa dahulu menelepon, mengatakan bahwa Nek Misti jatuh sakit selepas pulang dari sawah dua hari lalu.

Rudi yang merupakan anak bungsu, paling dekat dengan sang ibu, tentu saja tanpa ba-bi-bu langsung menelepon anaknya, mengatakan bahwa Arka harus segera pulang untuk persiapan ke rumah nenek secepatnya.

Sepanjang perjalanan, Arka yang duduk di belakang hanya menatap jalanan sambil memikirkan keadaan nenek sekarang. Entah mengapa, sebagian jiwanya terasa sunyi, seolah-olah ada yang hendak pergi.

Saat mobil berhenti, Arka sedikit terlonjak. Mengamati sekitar, dia kira sudah sampai, ternyata hanya berhenti di tempat pengisian bahan bakar.

Menghela napas, laki-laki berkulit putih bersih itu menyandarkan punggung, menunggu dirinya dilahap kebosanan saat menunggu giliran mobilnya diisi ulang bahan bakar.

Antrean di SPBU cukup panjang, terlebih di tempat yang ayahnya pilih. Pertamax.

Sambil menyandarkan punggung, sesekali dia mengedarkan pandangan, menatap ke arah antrean premium yang tak kalah panjang lalu beralih ke pengisian pertamax untuk melihat berapa kendaraan lagi sampai tiba pada gilirannya.

Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok gadis pendek kurus yang mengenakan seragam karyawan SPBU. Keningnya sedikit mengerut, berpikir keras di mana pernah melihatnya.

Gadis itu sendiri tanpa sengaja menoleh ke arahnya, tersenyum canggung kala mendapati Arka menatap tanpa berkedip dengan dahi mengerut.

Ah, Arka ingat sekarang! Mata sipitnya sedikit melebar. Dia gadis yang kecelakaan di Pancasila waktu itu. Rupanya sudah sembuh. Arka senang melihatnya.

Namun, sepertinya masih ada sesuatu yang mengganjal. Dia merasa sudah pernah bertemu sebelumnya, sebelum insiden kecelakaan itu.

***


Setibanya di rumah nenek, Arka langsung menuju ke arah neneknya selepas meletakkan tas di kursi.

Tidak heran jika yang membuka pintu kali ini bukan nenek, Arka memilih mengabaikan. Dia duduk di samping ranjang nenek, memegang telapak tangan sang nenek yang mulai keriput.

"Nenek ...," lirih Arka. Tak bisa dipungkiri, kesedihannya begitu dalam melihat tubuh renta neneknya terbaring tak berdaya di atas ranjang.

Biasanya sang nenek akan mengomel ini-itu saat dia datang ke rumahnya tanpa permisi, tidak meletakkan barang dengan baik, dan lain sebagainya. Namun, kali ini wanita tua itu hanya terbaring, tersenyum lemah ke arahnya ketika membuka mata.

"Arka, kamu nggak kerja?" Nek Misti bertanya lirih, sementara Arka hanya bisa mengembuskan napas.

Saat seperti ini, bisa-bisanya beliau memikirkan orang lain. Keadaan diri sendiri saja sudah ringkih, sempat-sempatnya mengkhawatirkan Arka yang tidak bekerja.

Menggeleng sebentar, Arka menjawab, "Libur. Untuk besok Arka udah izin ke atasan, Nek. Mungkin sekitar tiga atau lima hari Arka di sini, jagain Nenek."

Nek Misti tersenyum, menggerakkan tubuhnya hendak duduk. Arka yang menyadari hal itu langsung membantunya lalu menyerahkan segelas air setelah neneknya duduk.

"Arka, kamu masih ingat apa yang Nenek ajarkan dulu, 'kan?"

Arka mengerutkan kening, mulai berpikir pelajaran mana yang neneknya maksud.

Pisau tajam karena diasah. Karena neneknya Arka bisa sepandai sekarang. Terlalu banyak yang wanita itu ajarkan. Seketika, Arka mengingat pelajaran paling sakral yang neneknya ajarkan.

"Tentang Primbon Jawa?"

"Iya, kamu masih ingat?"

"Masih, Nek."

Nek Misti tersenyum semakin lebar. "Kamu sudah dewasa, 'kan? Sudah cukup umur untuk menikah. Kamu juga sudah punya pekerjaan. Nenek pengen lihat kamu nikah sebelum pergi, Ka. Umur, kan, nggak ada yang tau. Siapa tau besok atau lusa Nenek pergi. Nah, sebelum itu Nenek pengen lihat kamu nikah, Ka. Kamu satu-satunya cucuk Nenek yang belum nikah."

Arka terdiam beberapa saat, menunduk ke bawah, tak sanggup menatap tatapan sendu neneknya. Apakah sudah tiba saatnya? Tapi, Arka belum memiliki calon.

"Arka ...."

"Arka usahakan, Nek." Arka mengulas senyum tipis.[]

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang