Malam ini, bulan purnama bersinar terang ditemani bintang-bintang. Dua keluarga tengah berkumpul di dalam rumah kecil, memasang wajah serius satu sama lain.
Pukul tujuh tadi, keluarga Arka datang membawa beberapa buah tangan dengan jumlah cukup banyak. Sesuai dengan perkataan Rudi hari itu.
Duduk di ruang tamu, Bustami sudah memulai percakapan basa-basi dengan Rudi sebelum menuju ke maksud utama keluarga itu datang.
Di tengah perbincangan, Yeni baru saja datang, membawa hidangan dari dapur. Gadis itu menyuguhkan minuman dan kue kering lalu duduk di tengah-tengah antara Sumiati dan Bustami setelah meletakkan nampan.
"Maksud kedatangan kami kemari untuk melamar Yeni, menjadikan pendamping anak saya, Arka." Rudi menoleh ke arah Arka yang tersenyum canggung, sementara Tina bagaikan sakit kepala panjang rambut. Wanita itu pura-pura mengiakan di depan keluarga Bustami, padahal sebenarnya sangat enggan.
Sontak, Bustami dan Sumiati menoleh ke arah Yeni. Hal ini sebelumnya sudah mereka bicarakan, tetapi sejauh ini tetap saja Sumiati terlihat terpaksa.
Jantung Arka berdebar menunggu jawaban, berharap dia mendapat lampu hijau. Bisa habis harapan dia jika ditolak. Selain tidak bisa memenuhi keinginan neneknya, Arka juga tidak rela jika harus mencari gadis lain yang cocok dengan keinginannya. Itu sangat menyusahkan.
"Jadi, gimana keputusannya?" merasa tak ada yang angkat bicara, Rudi memutuskan untuk bertanya.
Berdeham sekali, Bustami melontarkan kata-kata yang sudah dia siapkan, "Begini, sebelumnya ini sangat tiba-tiba, kita semua awalnya sampai kaget. Setelah berunding, kami memutuskan untuk menerima lamaran keluarga Nak Arka."
Arka tersenyum gembira, menatap Yeni yang masih menunduk malu. Rudi sendiri menoleh ke arah anaknya, mengulas senyum tanpa memedulikan raut Tina dan Sumiati yang sedikit masam dan terkesan dipaksakan.
"Baik, kalau begitu, bagaimana jika kita langsung tentukan tanggal pernikahannya?"
Mendengar hal itu, Yeni langsung terbelalak kaget. Pernikahan? Secepat ini?
Sementara, Bustami hanya menghela napas. Dia sudah menduga langkah ini yang akan Rudi ambil. Maka dari itu, Bustami meminta Mbah Marto selaku kakek Yeni untuk turut hadir untuk membantu menentukan tanggal baik untuk melaksanakan pernikahan.
Mbah Marto langsung menanyakan weton keduanya. Pria tua itu meminta bantuan Sumiati untuk menuliskan angka-angka dan menghitungnya karena dia tidak bisa melihat dengan jelas.
Selaku orang yang diminta membantu, Sumiati berkali-kali menghela napas. Dia tidak percaya harus melakukan ini. Menjadi besan orang yang paling dihindari bukanlah hal yang bagus.
Sementara, Tina sendiri hanya menatap Sumiati dan Mbah Marto sambil sesekali mendengkus. Untuk apa juga harus melakukan hal ini? Menghitung hari pernikahan berdasarkan weton? Kepercayaan zaman apa ini?
Yang Tina tahu, orang menikah, ya, menikah saja. Menghitung hari pernikahan tidak perlu serumit ini. Inilah salah satu alasan Tina malas jika harus merelakan Arka menikah dengan gadis kampung. Kepercayaannya saja sudah kampungan.
Coba saja jika Arka menuruti keinginannya, menikah dengan gadis-gadis di kota pilihannya, tidak perlu menghitung weton merepotkan seperti ini. Pilih saja hari Minggu, hari di mana jadwal mereka lengang. Menyebalkan memang.
Sementara Mbah Marto dan Sumiati sibuk menghitung menggunakan rumus weton, Rudi dan Bustami sesekali berbincang. Keduanya memang cukup akrab mengingat Rudi sangat lama tinggal di desa dahulu. Saat sekolah pun keduanya sempat satu kelas.
"Baik, ini hasil perhitungan tanggal pernikahannya." Mbah Marto menyerahkan selembar kertas pada Bustami.
Pria itu mengangguk paham lalu menyerahkannya pada Rudi dan menjelaskan maksud dari tulisan Sumiati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
ChickLitCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...