Memilih jodoh bagai hela rambut dalam tepung. Tidak bisa sembarangan. Namun, walau sudah berhati-hati pun bukan berarti akan berjalan mulus. Ada saja halangannya.
Arka bersama kedua orang tuanya tengah duduk di kursi bambu panjang di halaman rumah, bawah pohon srikaya. Mereka sengaja menjauh agar tidak mengganggu Nek Misti dengan perdebatan pasal pernikahan Arka.
Masalahnya berada pada Tina, wanita itu masih enggan menyetujui keinginan Arka untuk melamar Yeni. Dia masih saja merekomendasikan gadis sana-sini, berharap Arka bisa berubah pikiran.
"Nggak! Mama benar-benar nggak setuju sama pilihan kamu." Tina menatap sinis anaknya.
Sebagai yang ditatap sinis, Arka menghela napas. "Kenapa, sih, Ma? Masih soal penampilan? Penampilan bisa di-upgrade, lho."
"Bukan cuma itu, Arka. Mama nggak mau punya besan kayak ibunya si Yeni itu. Percaya banget sama primbon, kayak manusia purba."
Arka menghela napas. "Memangnya menurut Mama salah satu alasan Arka maksa mau nikah sama Yeni itu apa kalau bukan karena weton primbon Arka sama dia cocok?"
Apa salahnya dengan percaya primbon? Arka sendiri juga percaya primbon. Bukankah itu tidak masalah? Justru lebih baik begitu, supaya setiap tindakan benar-benar berhati-hati.
Tina langsung membulatkan mata, sementara Rudi memilih diam, tak menunjukkan ekspresi apa pun. Sudah bukan hal aneh lagi jika salah satu alasan Arka memaksa karena weton hari lahir.
"Apa kamu bilang?! Kamu jadi manusia kolot juga? Astaga, Arka, bikin Mama pusing aja. Udah, deh, Ka, buang aja kepercayaan sama kayak gitu. Itu semua cuma mitos, Arka, nggak ada bukti nyata."
Arka menunduk, malas melanjutkan perdebatan. Sebenarnya dia ingin menjawab bahwa dia melihat bukti nyata dari neneknya. Saat dia masih SMP, ada pasangan muda yang menikah. Neneknya berkata bahwa rumah tangga mereka tidak akan bertahan lama karena ketidakcocokan weton kelahiran. Benar saja, lima bulan kemudian mereka bercerai.
Namun, Arka lebih memilih mengurungkan niatnya. Dia yakin respons Tina tidak akan setuju dengan ucapannya.
"Ma, udahlah. Di sini yang mau nikah itu Arka, bukan Mama. Lagi pula, semakin Mama nolak keinginan Arka, semakin lama juga Arka nikahnya. Ini Arka udah dapat calon bukannya didukung malah masih ini-itu," merasa malas berlama-lama mendengar perdebatan, Rudi melerai, memberi sedikit nasihat untuk istrinya yang selalu mengatur keinginan Arka.
Arka mengangguk setuju. "Bener kata Papa, Ma. Di sini sebenernya yang bikin makin lama Arka nikah itu Mama."
Sontak, Tina melotot mendengar itu. "Ngomong apa barusan kamu? Udah berani sama Mama kamu?!"
"E-eh, bukan gitu, Ma."
Perundingan berlanjut, semakin lama yang dibahas semakin rumit. Bukan hanya menentang karena kampungan, Tina sampai-sampai semakin murka saat mengetahui usia Yeni lebih tua dua tahun dari anaknya.
Arka bangkit dari duduknya, berdiri di samping kursi bambu. Setelahnya, dia berlalu pergi meninggalkan Tina yang dibuat dongkol. Baru kali ini Arka melawan keinginannya. Selama 24 tahun merawatnya, walau sikap Arka keras kepala, dia tidak pernah melawan keinginan Tina. Jika Tina berkata tidak, Arka akan menurutinya. Namun, entah mengapa kali ini berbeda.
Wanita itu mendengkus, menatap penuh harap pada suaminya supaya membujuk Arka untuk menikah dengan gadis yang dia pilih. Sayang sekali, harapan tinggal harapan. Rudi mengedikkan bahu lalu beranjak dari duduknya.
"Yang mau jalani kehidupan itu Arka, biarkan dia sendiri yang pilih. Dia udah besar, tau mana yang terbaik untuk dirinya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
Literatura FemininaCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...