20. Semahal-mahal Gading, Kalau Patah Tiada Harga

31 12 0
                                    

Sejak semalam, tak ada yang saling berbicara, baik Tina maupun Arka. Keduanya sibuk memikirkan keinginan sendiri, enggan mengalah.

Arka duduk di meja samping tempat tidur, tepat di dekat jendela sambil menopang dagu. Sesekali dia mengetuk-ngetukkan pena ke atas meja, sementara laptop di depannya menyala.

Bukan hanya soal penolakan dari Tina, tetapi juga kata-kata wanita itu. Saat sarapan tadi pagi, Tina sempat berkata bahwa Arka sudah durhaka, berani melawannya hanya karena wanita kampung itu.

Selama ini, tak satu pun permintaan Tina Arka tolak. Namun, apakah pasal menikah harus Tina atur juga?

Jika mendapat alasan yang lebih logis, Arka akan mengaku kalah. Namun, alasan Tina hanya itu-itu saja. Karena Yeni kampungan, di mata tetangga tidak baik, lebih tua dari Arka, dan lain sebagainya. Padahal itu bukanlah hal yang penting.

Lagi, beberapa hari lalu, dia sempat mendengar Tina berdebat dengan ayahnya di depan rumah. Rudi memberi saran tentang salah satu orang yang paling dipercaya bisa menebak masa depan di desa ini untuk menebak masa depan Arka.

Namun, Tina mengatakan bahwa dia tidak percaya akan ramalan itu. Terlebih dia sempat mendengar rumor tentang orang sakti itu bahwa ramalannya pernah meleset dari yang dia perkirakan.

Selama ini tebakannya selalu benar, tetapi yang terakhir ini salah. Sejak saat itu, Mbah Kijo yang dihormati karena kebaikan hati, dikenal suci, bisa menebak masa depan, langsung sirna seketika.

Semahal-mahal gading, kalau patah tiada harga. Baru kali ini Mbah Kijo membuat kesalahan, sudah tidak dihormati lagi.

Namun, bukan itu yang Tina pedulikan. Dia sangat tidak percaya pada ramalan atau apa pun itu.

Pikiran Arka benar-benar kacau hanya gara-gara Tina.

Suara pintu dibuka membuat Arka langsung menoleh. Dia melihat Rudi yang tersenyum di ambang pintu.

"Boleh Papa masuk?"

Arka mengangguk sekali lalu menutup layar laptopnya, berbalik badan menghadap ke arah sang ayah.

"Ngapain, Ka? Kayak sibuk banget."

"Enggak, Pa, cuma ngecek laporan tadi, biar besok nggak ada kesalahan pas disetor."

Memang benar. Sebelumnya dia tengah memeriksa laporan penjualan yang akan dikumpulkan besok. Namun, setelahnya dia melamun, memikirkan suasana antara dirinya dan Tina yang semakin acak-acakan.

Rudi menghela napas, duduk di tepi ranjang putranya sambil menatap Arka serius. "Arka, Papa minta kamu jujur. Apa alasan sebenarnya kamu maksa nikah sama Yeni? Nggak mungkin cuma karena primbon cocok, 'kan?"

"Em ...." Arka memalingkan pandangan ke sembarang arah. Dia tahu apa yang tengah dia rasakan, tetapi untuk mengatakannya pada Rudi ....

"Kalau kamu nggak bisa jawab, Papa bakal bantu Mama untuk jodohin kamu sama cewek pilihan Mama."

"Apa? Enggak, Arka nggak mau!"

Hampir berhasil. Rudi tersenyum tipis. Sebenarnya dia juga tidak suka pada gadis-gadis pilihan Tina. Untuk apa menantu cantik jika tidak pandai memasak dan mengurus rumah tangga? Terlihat jelas dari ucapan Tina---saat di kamar tadi---bahwa gadis yang dia rekomendasikan hanya pandai merias diri.

Menatap Arka yang masih memalingkan pandangan, Rudi terkekeh. "Masih nggak mau ngaku?"

"Eh? Apa maksud Papa?" Arka benar-benar terkejut. Belum apa-apa, Rudi berkata seolah-olah dia menyembunyikan sesuatu. Memang benar dia menyembunyikan sesuatu, tetapi ....

"Udahlah, Ka, akui aja. Kamu beneran suka sama Yeni, 'kan? Bukan cuma karena primbon itu kamu mau nikahi dia."

Arka menghela napas. Benar kata Rudi, dia benar-benar menyukai wanita itu. Awalnya memang hanya karena kecocokan primbon, tetapi semakin lama seolah-olah Arka jatuh pada perangkapnya sendiri.

Dia memang jarang sekali berbicara dengan Yeni. Mungkin interaksi mereka bisa dikatakan semuanya berasal dari kebetulan. Namun, akhir-akhir ini, setelah dia mulai lebih serius untuk mencari tahu, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya.

Melihat Yeni yang pekerja keras, sering membantu ayahnya di sawah ataupun kebun tanpa takut kulit terbakar dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa hari lalu dia sempat bertemu Yeni yang sedang membantu seorang nenek dekat rumahnya yang tengah mengangkat air dari sumur ke dalam sebuah tong di samping rumahnya.

"Em ... bisa dibilang gitu, tapi sedikit dan Arka belum yakin."

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang