Bustami, Sumiati, dan Yeni duduk di kursi teras sambil menikmati gorengan hangat untuk menghangatkan tubuh di malam hari.
Jadwal kerja shift malam Yeni sudah berakhir kemarin, sekarang saatnya dia membantu kedua orang tua untuk menata tembakau yang sudah dirajang di atas anyaman bambu. Orang-orang sekitar menyebutnya widig.
"Capek juga, ya, padahal Yeni baru dapat lima widig." Gadis itu mengusap keringat di pelipisnya.
Proses penataan tembakau memang selalu dilakukan di sebelah rumah Yeni, di halaman depan rumah salah satu tetangga yang luas---karena membangun rumah posisinya lebih ke belakang daripada rumah-rumah lain yang hanya berjarak beberapa meter dari jalan.
"Baru segitu aja kamu udah capek. Bapak aja yang ngerajang dari tadi biasa aja, tuh." Bustami melirik anak satu-satunya yang tengah meminum teh.
Helaan napas terdengar dari Yeni yang merasa tengah diledek oleh Bustami. "Bapak udah biasa, Yeni biasanya juga shift malam kalau pas ada kegiatan kayak begini."
Jelas saja Bustami tidak akan merasa lelah dengan pekerjaan seperti ini. Sehari-hari dia bekerja mengurus sawah dan kebun, tentu saja hal semacam ini sudah menjadi makanan setiap hari. Bagai orang tua diajar makan pisang. Dia sudah pandai tentang hal-hal yang berhubungan dengan bercocok tanam, tidak perlu diajari lagi.
Baru saja Bustami hendak membalas, Sumiati terlebih dahulu berucap, "Kamu masih akrab sama Arka apa nggak, Yen?"
Sontak, Yeni menoleh ke arah ibunya. Tumben sekali Sumiati menanyakan pasal Arka? Biasanya dia acuh tak acuh. Ada apa ini?
"Yeni memang nggak terlalu akrab sama dia sejak awal, Bu. Biasa aja, kok."
Memang benar, hubungan dia dan Arka tidak bisa dibilang akrab. Hanya bertemu secara kebetulan ketika dia dalam kesusahan.
Jika diingat-ingat lagi, sudah seminggu sejak mereka bertemu di pasar, Yeni tak lagi bertemu dengan Arka. Entah karena dia selalu shift malam, sementara Arka sudah pulang ke rumah pada saat itu atau ada hal lain yang lebih genting.
Akhir-akhir ini pula gosip mengenai kedekatan Yeni dan Arka sedikit mereda. Ibu-ibu tak lagi segempar saat kali pertama. Sepertinya mereka sudah lelah. Baguslah, Yeni bisa bernapas lega.
"Baguslah kalau nggak terlalu akrab. Tapi, tadi ibu kira kamu akrab, mau nanya tentang Nek Misti gimana keadaannya."
Lagi, Yeni hanya bisa bertanya-tanya sambil mengerutkan kening. Selama mendengar kabar Nek Misti sakit, ini kali pertama Sumiati menanyakannya. Yeni pikir sang ibu tidak terlalu peduli.
"Bukan apa-apa, tadi pas ke toko ibu lihat si Arka gendong Nek Misti ke dalam mobil, mukanya panik banget. Makanya ibu nanya Nek Misti keadaannya gimana."
Mendapat kabar baru itu, Yeni hanya bisa menunduk. "Yeni nggak tau, Bu."
Bustami sudah terlebih dahulu kembali ke pekerjaannya, merajang tembakau. Yeni hanya bisa termenung, menatap hiruk-pikuk di depannya sambil memikirkan ucapan sang ibu.
Gadis itu terperanjat saat punggungnya ditepuk pelan. Di sana, sang ibu sudah bangkit, bersiap kembali menyusun tembakau di atas widig.
"Udah, balik kerja, ayo! Biar cepat selesai pekerjaannya." Sumiati melangkah pergi, meninggalkan Yeni yang masih penuh tanda tanya mengenai apa yang terjadi pada Nek Misti.
Walau Nek Misti secara langsung bukan keluarganya, wanita itu sangat baik pada siapa pun. Tutur katanya lembut, walau sedikit cerewet.
Menghela napas, Yeni bangkit dari duduknya, bersiap kembali membantu orang tuanya. Mungkin dia bisa bertanya pada Arka jika bertemu nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
ChickLitCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...