5. Seperti Kuda Lepas dari Pingitan

48 8 2
                                    

Hari libur memang sangat membosankan bagi Arka.

Untuk seukuran orang yang tidak suka travelling, hari libur adalah musibah terbesar. Tidak memiliki kegiatan apa pun, ingin pergi ke pantai atau taman malas dengan keramaian. Serba salah.

Setelah berpikir keras menentukan tujuan supaya memiliki aktivitas, Arka memutuskan untuk ke bengkel pamannya.

Bengkel besar yang didirikan kurang lebih empat tahun ini sudah terkenal ke seluruh Kota Kraksaan. Baik servis motor, mobil, modifikasi, memperbaiki kerusakan luar ataupun dalam. Bengkel yang paling dipercaya oleh orang-orang dari berbagai kalangan.

Arka yang hanya bertugas membantu, terlebih pengetahuannya sebatas dasar-dasar mekanik, tentu saja mendapat tugas ringan, seperti mengganti oli, menambal ban, mengganti rantai, atau membeli onderdil yang stoknya kosong.

"Arka, istirahat dulu! Kamu dari tadi belum istirahat!" seru Hendra.

Arka mengangguk sekali. "Iya, Paman."

Laki-laki itu mengusap oli yang menempel di wajah saat dia berkaca. Hendra sendiri mengambil posisi di samping sang ponakan saat kebetulan kendaraan hanya butuh perbaikan ringan, seperti servis, tambal ban, dan hal-hal lain yang bisa dilakukan oleh karyawannya.

"Ngomong-ngomong, usia kamu udah berapa, Ka?"

"Baru 24, Paman," sahut Arka sambil terus membersihkan oli yang tidak kunjung hilang.

Hendra tertawa kecil menanggapi jawaban keponakannya. Bisa-bisanya dia berkata usia 24 ini baru seolah-olah merasa masih belasan tahun.

"Dua puluh empat kamu belum nikah?"

Entah berapa orang yang telah menanyakan hal sama. Arka sebenarnya sedikit muak dengan pertanyaan itu. Jika bukan pamannya sendiri yang bertanya, dia sudah bangkit dari tempat duduk, melangkah menjauh, ke mana saja asal tidak bertemu si penanya lagi. Sayangnya kali ini dia tidak bisa melakukan hal itu pada paman yang bisa dibilang cukup berjasa baginya.

Jika bukan karena pamannya ini, dia tidak akan memiliki biaya kuliah, orang tuanya tidak akan sukses seperti sekarang. Selain itu, jika bukan pamannya yang memiliki kenalan di perusahaan, dia tidak akan menjadi marketing di sana.

Arka menghela napas. "Masih belum nemuin cewek yang pas, Paman."

"Mau sampai kapan, Ka? Memangnya cewek tipe kamu itu kayak apa, toh? Paman nggak pernah dengar kamu punya pacar, tuh. Jangan-jangan kamu belok, ya."

"Astaga, nggak lah, Paman. Ya kali aja. Arka mau cari cewek yang kayak nenek."

Hendra menoleh ke arah Arka. Dia tidak salah dengar? Mencari gadis yang seperti neneknya? Mirip dalam hal apa yang Arka maksud? Sikap lemah lembutnya? Perhatiannya? Atau pelitnya?

Hendra jadi ingat saat muda dulu sering diam-diam mengambil uang sang ibu karena tidak diberi jika minta langsung pada si pemilik.

"Mirip kayak nenek maksud kamu?"

"Iya, Paman. Kayak nenek yang bisa dipercaya, baik, perhatian, dan ... yang wetonnya cocok sama Arka."

Sudah Hendra duga. Sejak kecil tinggal di desa, paling akrab dengan kakek neneknya, kecil kemungkinan kepercayaan mereka tidak menurun pada Arka.

Tidak bisa dipungkiri, dahulu Hendra juga menikah di usia 26 karena tidak kunjung menemukan gadis yang pas bagi Misti. Setiap kali membawa gadis, ada saja hal yang nenek jadikan alasan ketidakcocokan. Weton tidak cocok, arah rumah yang tidak baik, kalah sebelah, dan lain sebagainya.

Setelah bertemu dengan istrinya yang saat ini, membawa ke rumah, mendapat restu sang ibu, Hendra seperti kuda yang lepas dari pingitan. Sangat bahagia, sampai terus tersenyum sepanjang hari.

"Sebenarnya nggak usah---"

Kalimat Hendra terpotong oleh nada dering ponsel Arka. Laki-laki itu mengangkat panggilan setelah meminta izin pada sang paman.

Tidak tahu apa yang dibicarakan, tiba-tiba wajah tenang Arka berubah menjadi raut murung bercampur tegang. Bisa dipastikan, ada masalah penting yang tengah terjadi.

"Paman, Arka izin pulang duluan, ya, mau beres-beres di rumah. Nenek sakit, Arka harus cepet ke sana."

Cukup kaget, tetapi Hendra langsung mengizinkan Arka pergi tanpa basa-basi lagi. Baru saja dibicarakan, sudah ada kabar tidak mengenakkan saja.

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang