Usai menjalani detik-detik yang mendebarkan, Arka duduk di samping ranjang rumah sakit tempat neneknya dirawat. Kepalanya dia tenggelamkan dalam lipatan tangan, menahan isakan yang hendak keluar bersamaan dengan air matanya.
Kata dokter tadi, keadaan neneknya lebih buruk dari sebelumnya saat diperiksa. Mungkin bisa disebabkan oleh terlalu banyak pikiran atau terlambat meminum obat.
Saat dibawa ke rumah sakit, Nek Misti sempat pingsan. Namun, beberapa menit setelahnya, wanita itu kembali sadar, walau keadaannya tetap tidak bisa dibilang baik.
"Arka ...."
Mendengar panggilan neneknya, Arka mendongak, menatap sang nenek yang tersenyum tipis. Bisa-bisanya saat-saat seperti ini wanita itu masih tersenyum.
"Kapan kamu nikah? Kamu lihat keadaan Nenek sekarang, 'kan? Nggak baik, Ka. Gimana kalau Nenek pergi sebelum lihat kamu nikah?"
Laki-laki itu bergeming, menundukkan kepala sambil menggenggam tangan neneknya. Jika tidak perlu berdebat, Arka sudah memiliki kepastian. Masalahnya, mereka sudah menghabiskan banyak waktu hanya untuk berdebat.
Bagai merebus tak empuk. Semuanya sama-sama tetap pada pendirian, tak tergoyahkan walau sudah digoda seperti apa pun, termasuk Arka.
Terlebih lagi Tina, wanita itu sampai detik ini masih mempertahankan pendiriannya untuk menikahkan Arka dengan gadis kota. Bagaimana jika Nenek tidak setuju? Jika weton mereka tidak cocok, belum beberapa lama sudah cerai. Bukankah itu merugikan? Arka lebih memilih menjadi bujang lapuk daripada duda.
"Arka mau rundingan sama Mama Papa dulu, Nek, biar cepat selesai nentuin tanggal."
Menyalami tangan neneknya, Arka keluar dari ruang rawat untuk menemui kedua orang tuanya, mengajak bicara baik-baik, terutama dengan Tina.
Baru saja Arka menutup pintu, Rudi langsung menghampirinya. "Gimana keadaan Nenek?"
"Kurang baik. Pa, Ma, Arka kali ini benar-benar minta waktu dan kejelasan. Kayaknya kita harus runding serius tanpa perdebatan kali ini." Arka menatap penuh harap ke arah kedua orang tuanya. Dia benar-benar tak mampu memikirkan hal lain lagi, selain mengikuti keinginan neneknya.
***
Arka bersama kedua orang tuanya berada di kantin, menikmati camilan sambil membicarakan kelanjutan dari pernikahan Arka. Memang tidak ada lagi perdebatan, tetapi tetap saja wajah Tina mengisyaratkan bahwa dia tidak setuju.
Sejak tadi, wanita itu memakan makanan dengan sengaja membuat bunyi nyaring dari sendok dan piringnya. Kentara sekali dia ingin melampiaskan rasa kesal pada benda mati di hadapannya.
"Jadi, gimana, Ma? Kalau udah fixed, kita bisa persiapan untuk ngelamar." Arka berusaha untuk berbicara dari hati ke hati dengan Tina, berharap wanita itu berubah pikiran walau kemungkinannya sangat kecil.
Wanita itu meletakkan sendoknya di atas piring. "Kalau kamu tanya Mama, jawaban Mama tetap nggak setuju."
Rudi mengembuskan napas, memegang punggung istrinya, berusaha membujuk. "Kali ini ngalah aja, ya? Dari dulu Arka selalu ngalah, lho, ikuti semua kata-kata kamu, sampai dia rela nggak jadi ambil jurusan hukum cuma gara-gara kamu minta dia di manajemen."
Mengingat hal itu, Tina menunduk malu. Memang benar, semasa hendak mendaftar kuliah waktu itu, Arka sangat ingin mengambil program studi hukum. Dia sangat menyukai hal-hal yang berbau politik. Namun, karena Tina ingin anaknya mempelajari tentang perusahaan, wanita itu meminta Arka untuk masuk manajemen, membuang jauh-jauh impiannya menjadi Sarjana Hukum.
"Sebenarnya Mama masih keberatan, tapi ngelihat kondisi Nenek yang sekarang, nggak memungkinkan kalau dia ke belakangnya nggak kenapa-kenapa. Untuk kali ini, Mama terpaksa setuju. Kalian bisa tentuin persiapan dan lain-lain, Mama nggak mau ikut-ikutan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
ChickLitCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...