11. Layar Menimpa Tiang

33 11 1
                                    

Arka kembali masuk ke dalam rumah selepas menelepon atasannya. Wajah tampannya terlihat murung, ditambah lagi embusan napas yang seolah-olah berada dalam dua pilihan sulit.

Rudi yang melihat itu hanya tersenyum tipis, mengusap punggung anaknya sembari bertanya, "Kenapa, toh, Ka? Lecek banget mukamu kayak orang nggak bisa bayar cicilan."

"Arka minta resign ke atasan, Pa, tapi katanya suruh pikir-pikir lagi aja. Karena target aku udah lewat banyak, kata atasan bisa cuti sementara atau kerja jarak jauh aja selama sisa tahun ini. Aku suruh ke perusahaan sesekali karena jarak dari sini ke sana nggak jauh-jauh banget." Arka mengembuskan napasnya, lelah dengan segala hal yang dihadapi.

Padahal Arka sudah berpikir sejak pagi hingga malam untuk mempertimbangkan keputusan, atasannya seperti tidak mengizinkan dia resign. Sementara, dia memiliki kemungkinan akan berada dalam kurun waktu lama di desa ini, mengingat neneknya belum sembuh dan dia belum menemukan gadis yang pas.

Ini sama saja seperti layar menimpa tiang. Sudah susah payah mengajak keberuntungan berteman, malah menjadi lawan.

"Ya udah, artinya atasan kamu masih percaya kamu, Ka. Lanjutin aja. Lagi pula, Papa juga kerja jarak jauh, kok."

"Ya, kan, Papa yang punya usaha. Papa juga sering ke sana, 'kan? Arka gimana ke perusahaannya?"

"Itu mobil gunanya apa kalau nggak kamu pakai?"

"Terus Papa gimana?"

"Kan, katanya sesekali. Ya, menyesuaikan aja kalau Papa."

Arka menunduk, lagi-lagi hanya bisa menghela napas. Benar juga apa kata Rudi, bagaimanapun dia butuh pekerjaan itu. Jika dia resign, susah mencari kerja lagi, setelah menikah nanti apa yang akan anak istrinya makan? Tidak mungkin meminta pada orang tua terus, 'kan?

"Arka mau ke nenek dulu," tukas Arka sebelum akhirnya melangkah pergi tanpa menunggu jawaban sang ayah.

Dari hari ke hari, keadaan Nek Misti perlahan memulih. Arka bisa bernapas lega kala neneknya mulai bisa berjalan lagi, walaupun jika terlalu lama berjalan kaki neneknya akan sakit.

Arka menatap neneknya yang baru selesai meminum obat. Wanita tua itu tersenyum, memberi kode dengan menunjuk kursi roda di sudut ruangan.

"Nenek mau jalan-jalan? Ayo, Arka bantu." Arka langsung membantu neneknya duduk di kursi roda.

Arka mendorong kursi roda neneknya, berniat meminta izin pada Rudi dan Tina untuk mencari angin sebentar. Namun, di ruang tamu dia harus menelan kembali kalimatnya setelah mendapati kedua orang tua yang tengah memakan kue kering dan seorang gadis yang tersenyum manis.

"Enak kuenya." Tina kembali mengambil potongan kue kering di hadapannya, menikmati tiap gigitan sambil sesekali memuji.

Gadis itu tersenyum tipis. "Kalau begitu saya pamit, Pak, Bu, Nek. Masih banyak yang mau diantar. Permisi."

Arka masih menatap punggung gadis dengan baju hitam itu, menyunggingkan senyum tipis.

Rupanya rumah dia di sekitar sini, batin Arka sambil melanjutkan mendorong kursi roda nenek.

"Arka ...."

"Iya, Nek?"

"Kamu ingat gadis tadi nggak?"

Sedikit berpikir, Arka memutar kembali ingatan ke waktu lampau. Jika dalam waktu dekat ini, tentu saja ingat. Dia gadis yang kecelakaan di Pancasila waktu itu, juga gadis yang bekerja di SPBU. Ingatan mana yang neneknya maksud?

"Kamu nggak ingat rupanya. Dia Yeni, teman kamu waktu kecil dulu," ucapan nenek kembali membuat Arka bingung.

Teman masa kecil? Kapan? Di mana? Yeni?

"Dia gadis yang sama yang ada di foto di ruang tamu itu, Ka," cetus Nek Misti membuat mata sipit Arka membulat.

Pantas saja dia merasa familiar saat melihat gadis itu. Rupanya gadis cengeng yang selama ini dia pertanyakan kabarnya.

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang