7. Ada Nyawa, Nyawa Ikan

38 11 1
                                    

Arka duduk di kursi teras, memandang kosong ke arah lantai rumah neneknya. Pikirannya melayang, memikirkan keputusan tentang permintaan sang nenek kemarin.

Arka tahu, neneknya meminta dia segera menikah, tetapi yang menjadi masalah, menikah dengan siapa? Jangankan calon, gebetan saja dia tidak punya.

Bagaimana mungkin dia mendapat gebetan jika tempatnya bekerja mayoritas pria. Wanita mungkin hanya bagian keuangan, itupun letak ruangannya sangat jauh dari ruangan Arka. Lagi, paling tidak wanita-wanita di sana sudah menikah dan memiliki anak.

Mencari wanita di luaran, untuk sekadar berkeliling pagi hari mengelilingi komplek perumahan saja Arka malas. Sebenarnya banyak gadis-gadis muda di luar sana. Pertanyaannya, apakah mereka mau menikah dengan Arka? Lagi, apakah mereka masuk dalam kategori weton kelahiran cocok dengannya?

Ah, merepotkan!

Mengembuskan napas, detik berikutnya Arka terlonjak kaget saat pundaknya disentuh seseorang.

Menoleh ke belakang, dia mendapati ayahnya berdiri sambil mengulas senyum dengan kopi di tangannya. Pria itu mengambil posisi duduk di samping Arka.

"Mikirin apa, toh, Ka? Bengong gitu. Udah kayak manusia punya nyawa, nyawa ikan."

Arka mendengkus, berusaha mengumpulkan kesadaran yang sempat melayang.

Beberapa lama, Arka akhirnya menjawab, "Nenek minta Arka cepet nikah, Pa."

"Ya, tinggal nikah aja. Apa masalahnya?"

"Masalahnya itu, Arka mau nikah sama siapa?"

Hampir saja Rudi menyemburkan kopi yang tengah dia minum. Entah mengapa, terdengar sangat lucu, tetapi jika dipikir benar juga.

Jika Nek Misti meminta Arka cepat-cepat menikah, siapa yang akan Arka nikahi?

Wajah Arka memang tidak bisa dikategorikan dalam tingkat bawah. Dengan rambut hitam lurus yang tertata rapi, mata sipit dengan alis tebal, ditambah bibir kecil tipis merah muda, dan gigi gingsul yang melengkapi. Siapa yang berani berkata Arka ini jelek?

Hanya saja, di sini yang menjadi masalah sebenarnya bukan siapa gadis yang mau menikah dengan Arka, tetapi Arka yang mau menikah dengan gadis mana?

Pasalnya, Arka termasuk dalam tipe laki-laki pemilih. Rudi pernah mendengar sendiri bagaimana Arka menolak semua anak gadis teman arisan ibunya. Alasannya pun tidak panjang, hanya sebuah kalimat "dia nggak cocok sama Arka" yang diucapkan setiap kali ibunya menawarkan gadis dengan menunjukkan foto-fotonya.

"Ya sudah, begini saja. Karena mama kamu sudah berkali-kali kasih rekomendasi cewek kota, tapi nggak ada yang cocok, gimana kalau selama kamu di sini kamu cari cewek di sini. Siapa tau jodoh kamu dari desa tempatmu lahir ini. Entah itu teman masa kecilmu atau orang yang masih asing bagi kamu," usul Rudi membuat Arka mendongakkan wajahnya menatap penuh ke arah sang ayah.

"Ide Papa boleh juga, tapi ...."

***


Jika hari biasanya sekarang Arka bekerja, kini dia harus menjaga sang nenek. Keadaan neneknya selama dua hari ini tidak ada perkembangan sama sekali, sama seperti saat pertama Arka datang.

Arka menyuapi neneknya perlahan, menatap sendu ke arah wanita tua renta yang tak bisa mengomel lagi sekarang.

"Ngomong-ngomong, Nenek gimana bisa sakit?"

"Nggak tau, pulang dari sawah tiba-tiba Nenek pusing, jadi Nenek tidur. Bangun tidur Nenek langsung makin pusing, susah bangun. Untung ada Mbak Ilmi yang datang ke sini waktu itu, jadi dia urus Nenek sementara," sahut Nek Misti lirih.

Arka diam, melanjutkan acara menyuapi sang nenek dengan telaten. Melihat keadaan neneknya sekarang, dia semakin ingin menuruti permintaan sang nenek waktu itu, tetapi ....

"Ya udah, Nenek cepet sembuh, ya."[]

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang