10. Lemak Penyelar Daging

33 13 2
                                    

Tidak cukup buruk. Walaupun harus pulang lewat pukul 7 malam, Yeni merasa tenang ketika mengingat sudah menerima bayaran.

Namun, berbeda lagi saat dia tiba di depan rumah Bu Ilmi. Jangankan tenang, duduk di atas motor saja seperti tengah menanggung beban. Mereka menatapnya tanpa berkedip, seperti bersiap untuk menggosip.

Dirinya yang pulang malam hari seperti ini, sangat mustahil tidak dijadikan bahan gosipan.

Padahal, dia mengambil pekerjaan ini hanya untuk meringankan beban orang tuanya. Dia tidak ingin menjadi lemak penyelar daging. Hanya bisa menghabiskan harta orang tuanya. Namun, tetap saja ibu-ibu tidak akan peduli akan hal itu.

Ibu-ibu yang tengah duduk di teras rumah Bu Ilmi langsung memandang punggung Yeni yang perlahan menjauh. Bersiap memberikan asupan gosip malam hari pada kumpulan yang senantiasa bersama baik pagi, siang, sore, maupun malam.

"Nah, kan! Udah nggak diraguin lagi itu si Yeni memang kerjaannya keluyuran terus. Mana ada orang kerja pulang malam, 'kan? Emangnya dia kerja di kantor apa. Makanya nggak mau itu cowok-cowok. Selain malas sama ibunya yang kolot, mereka mana mau sama cewek nggak bener gitu."

Seperti biasa, begitu bayangan Yeni raib dari pandangan, Bu Kiyem yang memulai pergosipan. Wanita dengan bibir tebal itu menatap anggotanya, menunggu reaksi memuaskan yang pro pada opininya.

"Bener itu, Bu Kiyem. Masa anak perawan pukul segini baru pulang. Ini, kan, udah hampir pukul delapan. Sinetron tontonan saya aja udah bersambung," timpal Bu Ilmi selaku tuan rumah.

Tak mau ketinggalan, Bu Markonah menyahut, "Bener banget itu, Ibu-ibu. Kelihatan banget dia nakalnya. Mana bisa ngibul gitu ibunya percaya aja, ya? Masa anak perawan dibiarin pulang malam-malam."

"Halah, palingan juga emaknya gitu dulu."

Pergosipan terus berlanjut, walau sang objek sudah tiba di rumah, bahkan selesai mengganti baju.

Yeni baru saja hendak duduk di kursi, sang ayah memintanya untuk pergi ke toko terdekat membeli mie instan dan obat bersin.

Langkahnya sedikit melambat saat melihat laki-laki berjalan dari arah berlawanan dengan tempo sangat lambat. Sepertinya dia pernah melihat laki-laki ini, tetapi di mana?

Berusaha mengabaikan, Yeni langsung mempercepat langkah saat mendapati tatapan mata para ibu-ibu di rumah Bu Ilmi yang sudah memasang pandangan setajam silet untuk mendapat bahan gosipan baru.

Jarak antara rumah Yeni dan toko yang dituju bisa dibilang cukup jauh. Dari rumah Yeni yang berada di pinggir jalan dia harus ke utara, setelah itu belok ke timur, ke utara lagi, ke timur lagi.

Jika jalannya lurus, kurang lebih 300 meter.

Dia juga harus melewati rumah Nek Misti yang letaknya berjarak satu rumah, tiga warung, dan satu jalan kecil. Sementara, rumah Bu Ilmi tepat di depan rumah Nek Misti, terpisah oleh jalan.

Jika tidak salah, dia tadi melihat laki-laki itu keluar dari rumah Nek Misti. Apakah dia cucu Nek Misti yang sering dibicarakan di toko akhir-akhir ini? Laki-laki yang katanya tengah proses pencarian jodoh untuk memenuhi keinginan neneknya.

Ah, sudahlah. Untuk apa juga Yeni memikirkan hal itu. Sangat tidak penting. Lagi pula, pencarian jodoh itu tidak ada hubungannya dengan dia. Yeni sudah menyerahkan urusan perjodohan pada ibunya yang selalu tidak setuju dengan laki-laki dari sana-sini.

Dugaan Yeni tidak salah. Ibu-ibu di rumah Bu Ilmi langsung menggosipkan apa yang baru saja dilihat. Begitu semangat ketika akhir-akhir ini gosip mengenai perawan yang tak kunjung memiliki kekasih kembali muncul ke permukaan, berkali-kali lipat pula.[]

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang