17. Makan Hati Berulam Jantung

28 11 0
                                    

Hari-hari berlalu cukup cepat, pendekatan Arka cukup sukses, walau terkadang masih sedikit canggung.

Entah angin apa, kali ini dia bisa duduk berdua di saung bersama Yeni saat kebetulan bertemu di sawah untuk kedua kalinya ketika Arka baru pulang melihat tanaman jagung di sawah neneknya.

Namun, rasanya ada yang berbeda. Raut muka Yeni terlihat lebih sendu dari hari-hari biasa.

"Ada masalah, ya?" Arka memberanikan diri membuka percakapan.

Yeni menoleh ke arah Arka. "Nggak juga."

"Kenapa asem gitu mukanya?"

Yeni menggeleng pelan. "Kayak biasa."

Laki-laki itu mengangguk paham. Apa lagi yang Yeni maksud jika bukan gosipan ibu-ibu itu? Sudah menjadi budaya ibu-ibu itu bergosip dengan topik utama Yeni yang akhir-akhir ini kembali muncul ke permukaan. Terlebih, semenjak para ibu-ibu penggosip sering melihat keakraban antara Yeni dan Arka. Bagai makan hati berulam jantung.

"Jadi?" Arka menoleh, berharap gadis itu mau berbagi kisah dengannya.

Yeni menghela napas lagi. "Biasa, Ka. Mereka gosipin ini-itu. Tadi aja pas aku ke toko mereka lagi gosipin aku. Pas aku ngomong ke penjualnya, mereka baru nyadar dan langsung diam."

"Masih gosip yang sama?" Selama ini, yang Arka tahu Yeni digosipkan sebagai wanita tidak laku-laku yang hobi pulang malam dengan alasan bekerja. Itupun dia dengar dari celetukan sang ibu yang entah dari mana wanita itu dapatkan.

Waktu itu ibu-ibu yang tidak dikenal bertanya alasan Arka sering bersama Yeni, padahal Yeni bukan wanita baik-baik. Yeni sering pulang malam, bahkan terkadang pukul 6 pagi baru pulang.

Mendengar hal itu, Arka hanya menanggapi dengan senyuman sambil membayar barang yang dia beli. Dari sana pula dia semakin banyak tahu bagaimana pandangan orang sekitar terhadap gadis itu. Sangat buruk. Mungkin Tina mendengar dari mereka juga.

"Nggak, tapi nggak jauh-jauh dari itu. Setelah gosipin aku sebagai cewek nggak bener, mereka ngomongin ibu aku yang milih-milih, nolak laki-laki yang mau dekat sama aku gara-gara primbon nggak cocok."

Seketika Arka membelalakkan mata. Primbon? Ibu Yeni juga percaya primbon? Bukankah perpaduan yang pas? Lalu, apa yang salah dengan itu? Apa yang salah dari orang-orang percaya primbon?

"Aku sebenarnya nggak paham kenapa orang-orang selalu anggap orang yang percaya primbon itu aneh," Arka menjeda ucapannya, "padahal itu wajar, 'kan?"

Gadis itu menoleh, menatap Arka yang sedang mendongak menatap langit cerah. "Maksud kamu?"

Helaan napas terdengar dari Arka. "Gimana, ya, jelasinnya? Ramalan primbon itu nggak sepenuhnya buruk, 'kan? Nggak semuanya salah. Iya, 'kan?"

Pria itu menatap Yeni yang masih menatapnya sambil sesekali berkedip.

"Coba, deh, kamu pikir. Dengan primbon, bukannya kita bakal lebih hati-hati untuk bertindak? Setidaknya ada sesuatu alasan kuat yang dijadikan pegangan. Nggak sembrono, nggak asal-asalan. Setidaknya perilaku kita bisa dikontrol dengan adanya ramalan primbon ini. Ya, walau terkadang ada beberapa yang dilarang dan efeknya nggak apa-apa, tapi bukannya sebagian isi primbon itu ada benarnya juga?"

Yeni menunduk, memorinya teringat pada saat Sumiati melarangnya bekerja karena weton hari penahasan. Namun, dia dan Bustami tetap memaksa, hingga akhirnya dia kecelakaan di Pancasila.

"Ambil sisi baiknya juga, jangan cuma mandang sesuatu dari sisi buruk." Arka menampilkan deretan giginya, memamerkan gingsul yang membuat Yeni sedikit salah tingkah.

Kata-kata Arka ada benarnya juga. Tidak buruk menjadikan Arka teman curhat.

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang