Pukul sembilan pagi, Yeni baru saja tiba di rumah. Seharusnya dia sudah tiba sejak satu jam lalu. Namun, karena harus menjemput motornya yang kemarin diperbaiki, dia harus menunggu bengkel yang belum buka itu.
Akhir-akhir ini, nama Yeni cukup melambung. Bukan sebab buah dikenal pohonnya, tetapi sebab buah dikenal busuknya.
Bukan karya yang membuatnya terkenal, tetapi gosipan miring dari para tetangga. Ditambah lagi pulang di jam tidak biasa seperti ini akan menambah namanya semakin melambung. Ah, sudahlah.
Yeni memasuki rumah, sementara Sumiati berdiri di dekat meja sambil bersedekap dada, menatap anaknya yang pulang lewat dari jam seharusnya.
"Dari mana? Kok, lewat dari jam pulang biasanya?"
Menyalami tangan sang ibu, Yeni langsung mengembuskan napas lelah. "Kemarin waktu berangkat kerja motor Yeni bannya kempes, Bu. Tadi baru Yeni jemput motor karena kemarin buru-buru nggak bisa nunggu motornya yang antre untuk diperbaiki."
Menatap anaknya dari atas sampai bawah, Sumiati memicing curiga. "Terus, dari bengkel ke SPBU kamu bareng siapa?"
"Ba-bareng temen, Bu. Yeni telpon Nada." Terpaksa dia harus berbohong. Hari itu Sumiati sudah memberi peringatan untuk tidak berhubungan dengan Arka maupun keluarganya. Bisa habis dia jika berkata jujur.
Namun, Yeni tidak sepandai itu. Matanya yang tak berani menatap Sumiati membuat wanita paruh baya itu mengajaknya duduk di kursi sebelum Yeni masuk ke kamar. Dia tidak ingin anaknya menyembunyikan sesuatu darinya.
"Jujur sama ibu, kamu bareng siapa dari bengkel? Ibu tau kamu bohong, Yeni."
Yeni meremas ujung bajunya. Dia benar-benar takut untuk menyebut nama Arka di depan sang ibu. Entah respons seperti apa yang akan dia dapat nanti, pastinya bukan respons positif.
"Yeni, ibu nggak pernah ajarin kamu buat bohong, lho."
Masih menunduk, gadis itu langsung menghela napas, memantapkan diri untuk jujur. "Sa-sama ... sama Arka, Bu."
Seketika Sumiati menegang. Tubuhnya yang semula duduk santai menjadi tegak, menatap tajam anaknya yang seperti menganggap kata-katanya sebagai angin lalu.
Dia ingat betul sudah meminta Yeni untuk tidak berurusan dengan keluarga itu, tetapi nyatanya ....
"Kamu masih ingat kata-kata ibu waktu itu, 'kan? Ibu udah bilang, nggak perlu berurusan sama keluarga mereka."
"Tapi, Bu, waktu itu jalanan sepi. Ibu tau sendiri kalau pukul enam itu suasana jalan sepi banget, 'kan? Waktu itu Yeni ketemu Arka aja yang kebetulan lewat, mungkin habis pulang kerja. Jadi, Yeni nggak ada pilihan lain selain nerima bantuan Arka, Bu." Yeni menundukkan kepala, sementara Sumiati hanya mendengkus.
Wanita itu tidak tahu lagi harus berkata apa. Memang benar, jika Yeni menolak bantuan Arka, dia tidak akan bisa bekerja. Namun, di sisi lain dia benar-benar tidak ingin berurusan dengan keluarga wanita sombong itu.
"Ya udah, kamu masuk aja ke kamar, beres-beres sana. Kamu pasti capek. Nanti masih shift malam lagi, 'kan?"
"Iya, Bu." Yeni mengangguk lalu beranjak pergi menuju kamar.
Gadis itu memilih untuk melepas penat sebentar, merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis. Dia menatap genteng penuh jaring laba-laba, memikirkan tentang perkataan ibunya barusan. Wanita itu terlihat jelas tidak menyukai keluarga Arka.
Menghela napas, Yeni benar-benar lelah dengan semuanya. Entah kapan semua ini berakhir. Gadis itu langsung bangkit dari posisi tidurnya, berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
ChickLitCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...