8. Ombaknya Kedengaran, Pasirnya Tidak Kelihatan

33 11 1
                                    

Keinginan sang nenek yang meminta Arka segera menikah langsung sampai ke telinga ibunya. Arka hanya memutar bola mata malas saat membayangkan betapa rempongnya sang ibu menjodohkan dia nanti. Membuat malas keluar dari kamar saja.

"Arka, sini dulu, Nak," Tina memanggil begitu lembut dari luar. Pasti ada maunya.

Ombaknya kedengaran, pasirnya tidak kelihatan. Selama ini Tina dikenal pandai menjodohkan orang, tetapi sejauh ini Arka belum mendapatkan buktinya. Semua yang Tina rekomendasikan bukanlah tipenya.

Dengan langkah malas, Arka mendekat, menghampiri ibu dan ayah yang tengah berkumpul di ruang tengah.

Duduk si samping Tina, Arka bertanya, "Ada apa, Ma?"

Tina langsung berbinar cerah, memainkan ponsel sebentar sebelum akhirnya menunjukkan sesuatu ke arah Arka.

Senyumnya tak kunjung luntur, tak memedulikan wajah datar Arka yang seakan-akan bertanya apa maksudnya memamerkan foto gadis yang tidak dia kenal sama sekali.

"Apa, sih, Ma?" Arka memalingkan muka, memasang wajah malas, sementara sang ibu tetap antusias, mencari-cari foto lain karena mengira yang baru saja ditunjukkan tidak membuatnya tertarik.

Menarik lengan Arka, sang ibu berucap, "Lihat ini, Arka! Ish, kamu abaikan Mama? Lihat, nih, cantik banget, Arka!"

Arka mendengkus, menatap ayahnya yang bersikap acuh tak acuh. Padahal Arka berniat meminta bantuan untuk menghentikan aksi sang ibu. Sayangnya yang diharapkan tidak memedulikan. Menyebalkan!

"Ma, udahlah. Apa, sih, Arka mau cari sendiri, Ma. Rekomendasi dari Mama nggak ada yang cocok sama kriteria Arka."

Tina mendengkus kesal, mencubit pinggang suaminya, meminta bantuan untuk membujuk Arka. Bisa-bisanya ibu dan anak ini kompak menyulitkannya.

Dengan terpaksa, Rudi mengembuskan napas, bangkit dari tempatnya duduk membawa gelas kopi yang hanya tersisa ampas. Sebelum benar-benar pergi, Rudi berucap, "Urusan perjodohan kalian tangani sendiri. Kalau Papa, semua Papa serahkan sama Arka karena di sini yang menikah itu Arka, bukan Mama."

Arka tersenyum puas mendengar penuturan Rudi. Dia mendukungnya. Jadi, di sesi kali ini dia menang dari Tina!

Tina mencebik sebal, menatap tajam ke arah punggung tegap suaminya yang hilang di balik kelambu biru langit yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan bagian belakang.

"Kalian ini sama aja!" Tina bangkit dari tempatnya duduk, melangkah pergi menyusul suaminya, meninggalkan Arka seorang diri di ruang tamu.

Arka ikut bangkit, berjalan perlahan menuju salah satu sisi dinding. Menatap foto yang terpampang dalam bingkai. Foto dia bersama kakek, nenek, dan seorang ... gadis?

Fotonya saat kecil dahulu. Arka baru ingat dia memiliki teman perempuan semasa kecil. Teman yang jarang berbicara, tetapi sangat cengeng. Jangankan jatuh, disenggol saja matanya sudah berkaca-kaca. Arka tersenyum tipis mengingat kenangan itu. Namun, yang menjadi pertanyaannya kali ini, apa kabar dengan gadis kecil itu sekarang?

"Eh?!" Arka terlonjak kaget saat pundaknya ditepuk cukup keras. Rupanya Rudi sudah berdiri di belakangnya, memberi isyarat untuk kembali duduk di kursi rajut rotan itu.

Mengikuti keinginan Rudi, Arka bertanya kala yang ditunggu tak kunjung melontar kata, "Kenapa, Pa?"

"Nggak ada, Papa cuma pengen tau kriteria gadis yang kamu mau itu kayak apa. Soalnya itu yang ditunjukin Mama cantik semua, lho. Barusan aja dia ngomel-ngomel ke Papa, katanya kamu kurang normal sampai nggak peduli sama gadis pilihannya."

Selalu saja tentang itu. Arka menolak bukan berarti dia tidak normal. Jika memang tidak cocok, untuk apa menerimanya? Lagi pula, Arka juga tidak mengenal mereka. Bagaimana latar belakangnya, siapa namanya, tanggal lahir, letak rumah, dan lain-lain.

Arka mengembuskan napas. "Arka mau cewek yang udah jelas Arka tau, Pa. Sikapnya yang kayak nenek dan pastinya cewek yang bisa bikin nenek setuju Arka sama dia."

"Kenapa harus dengan persetujuan Nenek? Kan, yang mau nikah itu kamu."

"Soalnya Arka percaya sama firasat Nenek. Arka harus tau weton cewek itu, arah rumahnya, dan lain-lain. Dengan begitu, Nenek bisa setuju. Kan, yang minta Arka nikah juga Nenek, Pa."

Rudi terdiam, menatap anak tunggalnya disertai senyum tipis. Rupanya begitu. Hal yang Arka inginkan tak lain dan tak bukan duplikat dari neneknya sendiri.[]

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang