18. Hati Gatal, Mata Digaruk

31 11 0
                                    

Terhitung satu bulan semenjak Yeni mengantar kue ke rumah Nek Misti. Dari hari ke hari, hubungannya dengan Yeni sangat baik, banyak perkembangan.

Selama satu bulan ini pula, banyak hal yang berubah. Hanya dua hal yang tidak berubah. Penolakan Tina dan gosipan ibu-ibu di depan sana.

Arka masuk ke dalam kamar Nek Misti, mengecek keadaan neneknya yang akhir-akhir ini semakin membaik. Di sana, Arka mendapati Nek Misti yang tersenyum tipis sambil memegang sebuah foto berbingkai.

"Arka ... ibu kamu nggak maksa-maksa nikah sama cewek kota lagi, 'kan?"

Melangkah lebih dekat, Arka duduk di tepi ranjang neneknya. "Masih aja, Nek, tapi nggak masalah. Soalnya Mama nggak bakal bisa dibantah, jadi abaikan aja."

Nek Misti meletakkan kembali foto dirinya dan suaminya dahulu. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia merasakan rasa rindu yang amat besar, seakan-akan ingin segera berjumpa dengan suaminya.

Setiap kali melihat foto itu, dia tak pernah merasakan hal seperti ini. Biasanya hanya rindu sesaat, beberapa waktu kemudian hilang. Namun, kali terasa sangat berbeda. Ada rasa tak sabar untuk menjumpai figur dalam foto berbingkai itu, menatapnya lama, kembali bersama walau tak lagi di dunia.

"Arka ... kamu gimana? Udah bisa tentukan kapan mau nikah? Nenek nggak mau pergi sebelum lihat kamu nikah. Kamu cucu kesayangan Nenek, satu-satunya cucu yang bisa paham sikap Nenek. Kamu juga cucu Nenek yang paling muda." Nek Misti mengelus pelan rambut cucunya, tersenyum sendu membuat Arka menunduk, tak berani menatap.

Entah mengapa, dia berpikir kalimat Nek Misti sebagai kata-kata perpisahan, sebagai pesan terakhir. Senyum neneknya pun terasa begitu menyakitkan, menyedihkan, seakan-akan itu senyum terakhir yang bisa Arka lihat.

Selama bertahun-tahun bersama Nek Misti, Arka tidak pernah mendapati wajah sang nenek sesendu ini. Bahkan, saat kakek Arka meninggal pun wajah Nek Misti tak sesendu ini. Senyum kali ini menyiratkan kepergian, perpisahan, dan ... harapan.

Menghela napas, Arka menggenggam telapak tangan neneknya. "Secepatnya Arka bakal urus, Nek. Soalnya Arka udah kayak hati gatal, mata digaruk. Pengen cepet selesain, tapi nggak punya syarat untuk gapai. Oh, iya, Arka mau izin ke luar dulu, Nek, cari angin. Nanti sebelum pukul empat Arka udah pulang, kok."

Melirik jam dinding, Nek Misti tersenyum. Hampir pukul 3. Salah satu hal yang membuat Nek Misti paling menyayangi Arka karena dialah satu-satunya yang paling paham tentang situasi. Mementingkan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri.

"Ya udah, nggak pa-pa. Sukses, ya, pendekatannya."

Arka membulatkan mata. "Mana ada pendekatan, Nek, Arka mau ke rumah teman. Yakali Arka pendekatan sama teman cowok." Laki-laki itu tertawa hambar lalu menyalami tangan neneknya sebelum pergi.

Selepas kepergian Arka, Nek Misti hanya bisa tersenyum memandang punggung cucunya. Sebenarnya, jika duduk terlalu lama, dia akan merasa sesak di dada dan pegal di bagian pinggang. Namun, dia harus menahannya karena tidak ingin membuat Arka lebih khawatir.

Sudah cukup dia membuat cucunya kesulitan dalam mencari jodoh, membagi waktu bekerja, mengurusnya selama berhari-hari. Itu saja sudah sangat merepotkan.

Wanita tua itu mengalihkan pandangan, menatap kosong ke luar jendela. Senyumnya terukir kala mengingat suaminya di alam sana. Entah mengapa Nek Misti merasa sangat bahagia, seakan-akan hendak menemui sesuatu yang sudah lama dia tunggu. Rasa yang sama saat dia mendapat suaminya pulang bekerja dahulu.

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang