29. Duduk di Ambung-Ambung Taji

28 7 0
                                    

Hari ini, Arka akan melepas status lajangnya. Laki-laki 24 tahun itu duduk di tepi ranjang mengenakan kemeja batik dan celana hitam. Ini juga merupakan salah satu kesepakatan dua keluarga---kecuali Sumiati dan Tina yang tidak mengatakan iya atau tidak.

Pandangannya menatap lurus ke arah pintu, sementara pikirannya berkecamuk. Selepas akad nanti, dia memutuskan untuk langsung ke rumah sakit bersama Yeni, meminta bantuan orang-orang yang hadir untuk mengurus acara kecil-kecilan di rumah.

Sejak tadi malam, Arka merasa seperti duduk di ambung-ambung taji. Perasaannya tidak tenang, seperti akan ada tragedi besar yang terjadi. Semalaman dia memikirkan pasal neneknya, mengingat hari itu dia tidak menemani Nek Misti di rumah sakit karena persiapan untuk menikah.

Pukul delapan pagi, dua keluarga berkumpul di KUA, menyaksikan akad nikah Yeni dan Arka yang sama-sama gugup. Bustami sendiri menyerahkan urusan akad pada penghulu, membuat sedikit beban Arka terangkat. Bisa mati kedinginan dia jika harus mengucapkan akad pada Bustami yang terkenal tidak suka bercanda sama sekali.

Dalam satu tarikan napas, Arka mampu mengucapkan akad dengan lancar.

***

Arka dan Yeni menyusuri koridor rumah sakit. Sejak di parkiran tadi, tak ada pembicaraan satu sama lain, masih canggung untuk sekadar mencairkan suasana, hingga mereka tiba di depan ruangan Nek Misti.

"Ayo, masuk! Kamu gugup terus dari tadi." Arka menarik tangan Yeni, mengajak gadis itu untuk menemui sang nenek.

Pintu dibuka, mereka mendapati Nek Misti yang tidur di atas ranjang. Wanita itu menoleh saat mendengar bunyi pintu terbuka, detik berikutnya senyum tipis terulas di bibirnya.

Sontak, Arka dengan cepat menghampiri Nek Misti, melepaskan tautan tangannya dengan Yeni. Dia menggenggam tangan neneknya, merasa terganggu dengan senyum yang akhir-akhir menghiasi wajah sang nenek. Senyum yang mengisyaratkan perpisahan.

"Nek, maaf semalam Arka nggak bisa nemenin Nenek di sini."

Dalam situasi seperti ini, Nek Misti masih mengulas senyum, tanpa mengusap kepala Arka. Mata wanita itu lagi-lagi menyiratkan kesenduan. Pandangan yang sangat Arka benci seolah-olah neneknya akan pergi jauh, meninggalkan dia untuk selamanya.

Melihat wajah khawatir Arka, Yeni memilih diam. Tangannya terangkat mengusap punggung Arka berharap mampu membuatnya lebih tenang.

"Yeni ...," panggil Nek Misti.

Yeni yang tengah menatap Arka langsung menoleh, menatap Nek Misti yang memberi isyarat untuk lebih dekat.

"Selamat untuk kalian." Wanita tua di atas ranjang itu masih tersenyum, dia menarik selimutnya lebih tinggi hingga sebatas dada.

Arka masih memperhatikan dengan saksama apa saja yang neneknya lakukan. Dilihatnya wanita yang tengah berbicara tanpa suara, entah apa yang diucapkan. Tak berselang lama, mata wanita itu terpejam dengan damai.

Laki-laki yang tadinya masih berdiri itu langsung duduk di kursi dekat ranjang, mengembuskan napas sekali. Lega rasanya melihat sang nenek tidur, tidak perlu terlalu khawatir dengan keadaannya. Dia berharap setelah ini neneknya akan sembuh.

Sekali lagi, dia menatap sang nenek lama. Namun, ada sesuatu yang aneh. Arka mengerutkan kening kala melihat tubuh sang nenek yang terlihat sangat tenang. Tidak ada gerakan naik turun di bagian dadanya.

Melihat hal itu, dia langsung melangkah cepat menuju salah satu sisi ruangan, menekan bel darurat yang ada di dekat ranjang berkali-kali.

Tidak, jangan sekarang! Arka belum siap. Ini hari bahagianya, nenek tidak boleh pergi sekarang.

Ketika Primbon BersabdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang