Beberapa waktu ini, Arka mencoba untuk lebih dekat dengan pemuda-pemuda di kampung, terutama para pemuda yang sering berada di angkringan Wi-Fi dekat rumah sang nenek.
Setiap ada waktu luang, Arka menyempatkan diri untuk berkumpul di sana, berharap mendapat informasi tentang Yeni. Namun, sejauh ini tidak ada hal yang mereka bicarakan tentang Yeni. Sepertinya dia salah tempat.
Sebenarnya tempat paling tepat untuk mendapat informasi tentang Yeni tak lain dan tak bukan adalah kumpulan Bu Kiyem yang selalu berkumpul di teras rumah Bu Ilmi hampir setiap saat. Namun, Arka sendiri tak yakin mendapat hal yang akurat. Bagaimana jika nanti dia hanya dapat kopi pahit?
"Eh, kalian kenal cewek itu nggak?" Tepat setelah Yeni melintas dengan seragam kerjanya, Arka menunjuk ke arah gadis itu. Para pemuda yang baru saja selesai memesan minuman langsung menoleh.
"Itu Mbak Yeni Minarti, Bang. Anaknya Pak Bustami. Kenapa? Abang suka sama dia?" laki-laki yang mengenakan seragam SMA di hadapan Arka menyahut.
Arka terbelalak, berdeham sekali untuk menutupi gelagatnya. "Nggak, kok. Nanya doang. Soalnya aku sering lihat dia, tapi nggak tau siapa."
Laki-laki itu menatap curiga, memperhatikan segala gerak-gerik Arka yang kentara sekali jika tengah berbohong. Abil, remaja SMA itu mendengkus lalu membuka aplikasi game online-nya.
"Kalau suka, kenapa nggak Abang samperin aja? Dia masih jomblo, Bang, santai aja. Belum laku walau umurnya udah tua."
"Eh? Kenapa gitu?"
"Mana aku tau, Bang. Kalau Abang pengen tau jelas, tanya sama ibu-ibu di sana. Pasti pada tau kenapa. Aku cuma dengar sekilas, ibu Mbak Yeni terlalu pemilih." Abil tak memandang Arka sedikit pun, masih fokus pada game yang dia mainkan.
Sementara, Arka sendiri terdiam, berusaha mencerna segala kata-kata Abil. Pria itu sudah terhitung empat hari mencari informasi mengenai Yeni, tetapi tak kunjung mendapat apa yang diharapkan. Seketika matanya sedikit membulat, mendapat ide cemerlang yang memungkinkan.
"Oh, iya, barusan kamu bilang usia Yeni udah tua. Memangnya berapa?"
Abil menghela napas. "Aku nggak tau, Bang. Katanya Abang nggak suka, kenapa nanya sampai detail gitu?" Abil melirik Arka, tersenyum tipis saat berhasil membuat pria itu kehabisan kata-kata.
Seketika Arka bungkam, tak mampu berkata-kata. Benar kata Abil. Baru beberapa menit lalu dia mengaku tidak suka, sekarang sudah bertanya-tanya.
Dia berusaha berpikir keras tentang sesuatu yang bisa dia jadikan media informasi paling akurat. Dua hari lalu dia sempat menemukan akun Fesbuk Yeni, tetapi tanggal lahirnya tidak akurat. Tentu saja! Di sana tertera tanggal kelahirannya 15 Mei 1950. Yang benar saja! Tidak mungkin usia Yeni selisih sedikit dengan neneknya.
Di sana Arka yang bisa menerka. Dia mendapati foto wisuda Yeni semasa SMA yang tertulis angkatan 9 tahun lalu. Artinya, usia Yeni paling tidak terpaut dua tahun lebih tua darinya.
Pria itu masih berusaha berpikir keras, mencari cara lain yang lebih efektif. Akurat, tetapi cepat. Seketika otaknya mengingat sesuatu, membuat mata sipitnya sedikit melebar. Album milik neneknya!
Selain sebagai petani, sebelum sang kakek meninggal, neneknya dahulu adalah dukun melahirkan. Neneknya selalu menyimpan setiap kelahiran bayi yang dia bantu pada sebuah album. Bukan foto, hanya berupa catatan nama dan tanggal lahir. Siapa tahu neneknya yang dahulu membantu ibu Yeni saat melahirkan. Setidaknya ada sedikit harapan.
Arka langsung berdiri, menoleh ke arah Abil dan temannya yang sibuk bermain game. "Abang pulang duluan, ya, ada urusan."
"Iya, Bang. Kalau mau deketin Mbak Yeni bilang aja, aku ada kontaknya."
Masih saja soal itu. Arka mengabaikan Abil yang terkekeh pelan di belakang sana bersama dua teman bolos lainnya.
***
Arka melangkah tergesa-gesa menuju kamar neneknya, berharap dengan cepat menemukan album yang dia cari. Sebenarnya Arka sedikit bingung, untuk apa neneknya menyimpan tanggal lahir bayi-bayi itu? Setiap kali ditanya, neneknya akan menjawab "siapa tahu besok-besok dibutuhkan" seakan-akan sudah mengetahui apa yang akan terjadi nanti.Dilihatnya sang nenek yang tengah tertidur pulas. Sebenarnya Arka sendiri tidak yakin untuk menggeledah kamar neneknya hanya demi sebuah album, tetapi tidak ada cara lain lagi. Tidak mungkin jika dia tiba-tiba bertanya pada Yeni langsung, 'kan? Itu sangat memalukan.
Pria itu mencari di segala sisi. Di laci, lemari, atas meja, dekat ranjang, dan---ah, di sini rupanya. Arka susah payah meraih sebuah benda seperti buku di kolong tempat tidur.
Setelah didapat, Arka bangkit, membersihkan sedikit kotoran yang menempel di bajunya lalu membawa benda itu ke ruang tamu.
Arka membuka satu per satu lembaran lusuh yang terbungkus plastik transparan itu. Satu per satu nama bayi mulai terlihat, sejak tahun 1990-an.
Di lembaran kesekian, Arka mendapati apa yang dicarinya. Tangannya sudah kotor oleh debu dari album yang sulit dihilangkan. Di sana tertulis "Yeni Minarti - Kamis Kliwon, 12 Nov---
Belum selesai Arka membaca, album itu sudah ditarik oleh Tina. Wanita itu mendengkus saat mengetahui apa yang anaknya baca.
"Mama heran sama kamu. Bisa-bisanya masih cari tau tentang cewek kampung itu. Kamu ini rabun apa gimana, sih, Ka? Mama rekomendasiin cewek cantik-cantik malah pilih yang kampungan. Standar kamu turun, ya?"
Tina menoleh, menatap anaknya yang bersikap acuh tak acuh, malah memilih untuk memainkan ponsel.
Tina langsung menjewer telinga kiri Arka. "Berani kamu abaikan Mama, Basarka Yudistira?"
"A-ampun, Ma," cicit Arka, tetapi Tina tak mengindahkannya. Wanita itu membawa Arka pergi, menjauh dari area rumah supaya suara omelannya tidak mengganggu Nek Misti yang sedang tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Primbon Bersabda
ChickLitCerita inu dipersembahkan untuk event internal @PseuCom. IPEN AA Mau nikah, tiba-tiba ada primbon nyempil di tengah. Weton nggak cocok lah, arah rumah ngga bagus lah, hari kurang baik, ini, itu, blablabla. Terlalu percaya primbon, jangankan pikiran...