TDA - Delapan

2.5K 204 9
                                    

Happy reading :)

😈😈😈

Resiko memiliki hubungan emosional dengan pasien adalah ketika si pasien sudah tidak bisa diselamatkan. Seperti halnya yang Laras alami saat ini. Salah satu pasiennya telah berhenti berjuang melawan penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya. Selama beberapa bulan terakhir, Laras menjadi lebih dekat dengan pasien yang masih berumur sembilan tahun tersebut karena si pasien sudah tidak bisa melakukan rawat jalan sehingga hari-harinya hanya terkurung di dalam ruangan IGD.

Kini, ruangan itu sudah kembali rapi setelah jasad dipindahkan untuk proses dipulangkan ke rumah duka. Ruangan yang biasanya diisi celoteh riang anak itu saat ini menjadi sunyi. Tinggal menunggu waktu sebelum ruangan ini ditempati oleh pasien baru.

Laras berdiri dari kursi yang didudukinya selama beberapa menit. Matanya mengedar kembali sebelum akhirnya ia melangkah keluar dari ruangan tersebut.

"Hei."

"Lex ...."

"It's ok," ucap Alex menenangkan. "Ini yang terbaik buat dia. Dia udah nggak akan ngerasain lagi sakitnya dikemo."

"Gue nggak sanggup ngelihat orang tuanya tadi. Mereka terpukul banget, Lex. Gue jadi ngebayangin kalau gue yang di posisi anak itu, terus orang tua gue bakal kehilangan gue. Gue satu-satunya anak yang mereka punya."

Laras menunduk sedih. Bayangan orang tua anak itu seakan mengingatkan Laras untuk bersyukur bahwa ia masih dianugerahi kesehatan. Membayangkan dirinya yang ada di posisi anak itu, Laras tidak yakin sanggup sekuat dan setegar apa yang anak itu mampu lakukan di hadapan kedua orang tuanya. Laras tahu bahwa jauh di dalam diri anak itu, dia menyimpan derita akan sakitnya kanker dalam tubuhnya. Namun, anak itu selalu pandai berakting di depan kedua orang tuanya agar tidak membuat mereka sedih dan menangis.

"Jangankan ada di posisi yang sama, ngeliat gue jatuh aja Papi sama Mami langsung heboh. Gue nggak kebayang kalau ... kalau ... "

"Ssshh, jangan dibayangin, Ras. Cukup syukuri apa yang ada saat ini."

"Thanks, Lex."

Alex mengangguk dan tersenyum kecil. Diraihnya tangan Laras dan memberikan elusan lembut melalui ibu jarinya.

"Mau ke kantin dulu?" tawar Alex. "Kayaknya lo butuh sesuatu untuk naikin mood."

Sepertinya Alex benar. Kopi mungkin bisa membuat mood-nya sedikit lebih baik. Beruntungnya ia memiliki rekan kerja yang baik dan pengertian seperti Alex. Perhatian-perhatian kecil yang membuatnya semakin merasa nyaman saat berdua dengan lelaki itu.

😈😈😈

Entah untuk yang ke-berapa kalinya Laras pulang diantar oleh Alex. Satu hal yang pasti, Laras menyukai sikap Alex terhadapnya. Hal-hal remeh yang selama ini dianggap menggelikan untuk seorang Laras Mirandari berubah menjadi sangat bermakna. Seperti contohnya saat keduanya akan keluar dari sebuah ruangan, Alex membukakan pintu dan mempersilakan Laras untuk berjalan lebih dahulu. Selain itu, Alex juga rajin membawakan secangkir kopi atau cokelat hangat saat jam makan siang tiba. Itu hanya beberapa contoh kecil, belum yang lainnya.

"Itu siapa yang parkir mobil di pinggir jalan gitu?"

Laras menatap ke depan dan benar seperti yang Alex katakan bahwa ada sebuah mobil yang berhenti di pinggir jalan. Sekali lihat saja Laras sudah tahu mobil siapa itu. Ditambah sosok yang bersandar di kap mobil dengan sebuah topi yang menutupi kepalanya yang sedang menunduk.

Laras mengikuti Alex yang keluar dari mobil untuk menegur pemilik mobil tadi. Kepala itu terangkat saat mendengar derap langkah kaki mendekat. Dalam gelapnya malam, wajah itu tampak letih dan tak ada ekspresi berarti yang ditunjukkan di sana.

The Devil's Angel [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang