TDA - Empat Puluh Empat

1.5K 157 24
                                    

Happy reading :)

😈😈😈

Suara kilat petir terdengar di antara gemuruhnya air yang turun begitu deras. Hujan malam ini entah menjadi berkah atau musibah untuk Laras karena beberapa menit sebelum acara akikah selesai, derasnya air tiba-tiba turun menerjang bumi. Jadilah saat ini Laras harus terjebak di tengah-tengah keluarga orang.

Laras hanya bisa duduk diam karena tidak banyak manusia yang ia kenal. Tahu begini mending absen saja dan memberikan alasan kepada Ocha supaya temannya itu bisa memaklumi. Namun, apa yang harus Laras lakukan sekarang? Mau pulang pun tidak bisa karena tidak ada taksi online yang akan menerima orderan saat hujan lebat seperti ini.

Hembusan napas berat keluar begitu saja. Bosan mulai merayap. Punggung Laras sudah terasa amat pegal karena sedari tadi hanya bisa berdiri dan duduk. Padahal biasanya Laras selalu rebahan di jam-jam seperti sekarang. Beban yang dipikul karena perutnya semakin besar membuat Laras mudah lelah. Kakinya cepat kebas dan punggungnya akan pegal jika terlalu lama berdiri atau duduk.

"Aduh!"

Pekikan tertahan itu terjadi saat Laras mencoba meluruskan punggungnya. Rasanya sudah seperti bapak-bapak yang sedang encok saja! Mana sedari tadi anaknya begitu aktif pula menendang di dalam sana. Kurang menderita apa lagi coba?

"Laras?"

Sekali dengar saja Laras tahu suara barusan itu milik siapa. Suara yang sudah dihafal di luar kepala.

"Ada yang sakit?"

"Pulang ...," cicit Laras dengan suara lirih. Bahkan Nathan sampai dibuat sangsi jika baru saja ia mendengar Laras sudah mau membuka suara dengannya.

"Kamu bilang sesuatu?"

"Pulang."

"Pamit dulu sama Ocha, ya?"

Laras mengangguk pasrah. Ia berdiri susah payah dengan tangan yang menekan pinggangnya. Sedikit sulit untuk mendapatkan celah berpamitan dengan Ocha karena Ocha sedang berbincang dengan beberapa orang. Namun, akhirnya Nathan bisa menyela dan mereka berpamitan.

"Kamu tunggu di sini dulu," ucap Nathan setelah meletakkan jaketnya di kedua bahu Laras yang terekspos.

Tak berselang lama, Nathan kembali dengan sebuah payung di tangan. Lelaki itu membuka payung lalu menuntun Laras dengan sangat hati-hati. Satu tangan Nathan memegang payung, sedang satu yang lainnya menarik pinggang Laras lebih dekat lagi supaya gadis itu tidak terkena air hujan. Kaki mereka menapaki paving blok yang tergenang air. Hujan benar-benar turun dengan sangat deras.

Begitu sampai di sisi mobil, Nathan membukakan pintu, meletakkan satu tangan di atas pintu supaya kepala Laras tidak terantuk dan membimbing Laras sampai bisa duduk nyaman bersandar di jok samping kemudi. Setelah itu barulah Nathan memutari mobil dan masuk ke sisi pintu sebelah kanan.

"Awas dulu coba, biar aku rendahin joknya supaya kamu bisa rebahan."

Menegakkan duduk, Laras membiarkan saat Nathan mengatur kursi itu sedemikian rupa. Sampai akhirnya desah napas lega terdengar pelan saat Laras sudah bisa merebahkan tubuh secara nyaman. Meski tidak senyaman saat rebahan di atas tempat tidur, setidaknya ini lebih baik daripada duduk terus-menerus.

"Tidur aja," kata Nathan sambil memutar kontak. Jujur saja hati Nathan sedang bungah akan rasa bahagia saat bisa berada sedekat ini lagi dengan Laras. Matanya diam-diam melirik ke arah perut buncit Laras. Ingin menyentuh, tapi Nathan menahan diri. Beberapa kali ia harus mengepalkan telapak tangannya supaya tidak singgah di atas perut besar itu.

The Devil's Angel [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang