CERITA INI MERUPAKAN KHAYALAN PENULIS TERINSIPRASI DARI KELUARGA THE HERMANSYAH A6.
Adhara Andira Nur Hermansyah, akrab dipanggil Ara atau Dhara dengan keluarga dan teman-temannya, remaja yang berusia 17 tahun ini merupakan anak bungsu Anang Herman...
"AAAAA!!!!! RAMBUT AKU! SIAPA YANG MASUKKIN PEWARNA KE SHAMPOO AKU!!? Kalo mau becanda jangan lagi buru-buru gini!!!!!!! Kak Jiel!!! Kakak ya ini?!!" aku teriak ketika mengetahui ada yang menaruh pewarna ungu di shampoo ku membuat warna rambutku menjadi ungu gak karuan dan aku ada janji bersama teman-temanku dan Theo.
"Rambut kamu kenapa, dek? Jelek amat sih!" Kak Jiel menertawakan sambil merekam aku.
Amarahku saat ini sangat dipancing oleh Kak Jiel dan aku sudah mulai hilang kontrol untuk meredamnya.
"Woi! Kenapa sih, jadi orang iseng banget!!! Nyebelin banget, ayo tanggung jawab!!! Aku harus pergi, kak!!" aku bilang.
"Lahh, kok aku yang disalahin? Orang Arsya kok." jawabnya santai.
Aku menoleh Arsya yang dengan cepat menggeleng kepalanya menunjuk kembali ke Kak Jiel. Tentu saja, pasti Kak Jiel lah yang melakukan ini, adikku tak mungkin memiliki ide-ide gila seperti ini.
"Bohong!!! Adek gak mungkin, kak kenapa sih? Gak bisa yang lain?" aku tanya lagi masih berusaha menahan emosi marahku yang naik.
"Yaudah, pergi aja adekku.... Lagian nanti paling diketawaiin doang.. Cakep kok, cakep spikey-spikey ungu gitu. Worst comes to worst, ya Theo paling kabur liat kamu." Kak Jiel malah terpingkal-pingkal.
"Jangan bikin aku teriak ke bunda ya.." aku mengancam.
"Teriak aja, bunda gak di rumah kok." Kak Jiel berkata, tapi aku gak mau nyerah, aku tetap mencoba.
Terdengar suara pintu dari kamar bunda terbuka menandakan bahwa bunda sudah ada di rumah. Di depanku, muka Kak Jiel langsung pucat.
"Adhara, teriak-teriak gitu nanti suaranya abis, kenapa?" bunda yang belum melihatku.
"Bunda udah pulang?" Kak Jiel tanya terbata-bata.
"Iya, bunda baru pulang, kenapa sih dek, teri" kata bunda terputus ketika melihatku.
"Adek, rambutnya kenapa?" bunda berjalan cepat untuk melihat rambutku.
"Tuh, tanya aja itu, gara-gara dia!!" aku adu.
"Jiel... Itu kamu masukkin apa ke shampo adek." bunda tanya Kak Jiel.
"Dih bukan akuu kok." Kak Jiel masih membantah.
"Jiel, ini kamu pake pewarna apa? Pewarna makanan ini loh, Jiel. Rambut adek bisa rusak." bunda berkata tegas.
"Becandanya gak gini, Kakak Jiel. Ini aja rambut adek udah mulai kusut. Minta maaf ke adeknya." lanjut bunda mengomeli Kak Jiel.
Nah, rasaiin lu, Kak. Kena marah, kan.
"Sorry, dek.. Gak maksud. Cuman buat lucu-lucuan aja. Sebulan ke depan, gua bakal lakuin apapun yang lu mau deh.. Maaf ya.. Udah jangan marah lagi." Kak Jiel membujuk.
"Aku harus pergi, kakak... Kalo gini aku gak bisa pergi dong..." kataku masih kesal.
"Sorry, sorry..." Kak Jiel mencubit pipiku lalu masuk ke kamarnya.
"Bunda..." aku merengek meminta solusi.
"Iya sayang... Bunda panggilin Kak Cecil sekarang, adek cuci dulu di salon gih.. Temen-temen kamu sama Theo suruh kesini dulu. Abis itu baru kalian pergi, oke? Udah, gak boleh marah-marah lagi, kakaknya dimaafin." bunda kemudian mencium pipi aku.
Aku kemudian mengambil handphone mengabari teman-teman dan Theo.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.