Twenty Sixth

20K 899 1
                                    

Akhirnya aku telah di perbolehkan pulang dari rumah sakit. Sungguh, aku sangat merindukan kamarku, dan juga sekolahan. Merindukan Bagas? Kurasa tidak. Aku masih membencinya. Okay, jika sampai beberapa hari ini dia tetap seperti ini, keputusanku sudah bulat. Aku akan memutuskannya!

Aku merebahkan tubuhku di kasur kesayanganku. Rasanya sudah bertahun-tahun aku tidak tertidur di kasur ini. Aku melihat semua benda yang ada di kamar ini. Semuanya sama, tetap, tidak ada yang berubah.

"Shilvy!" Teriak seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Chelsea?

"Kangen banget tahu gak. Jahat amat sih ninggalin seminggu lebih lima hari." Chelsea memelukku dengan erat. Kebiasaan deh, gak tahu kali ua kalo aku susah napas kalo kayak gini.

"I-iya Chel. A-aku gak b-bisa na-pas!" Ucapku terbata-bata. Gimana gak terbata-bata. Kekurangan oxygen euy-,-

"Eh, sorry. Abisnya aku kangen banget sama kamu." Akhirnya Chelsea melepas pelukannya. Dan aku wajib bersyukur untuk itu.

"Lebay tahu gak. Aku sampai kehabisan napas. Kalo aku meninggal gimana?" Tanyaku sewot.

"Gak usah marah dong. Iya iya aku minta maaf. Kan aku kangen banget sama kamu."

"Iya aku tahu, kan aku memang ngangenin Chel." Kemudian aku dan Chelsea tertawa bersama. Ini semua kebahagiaan yang tidak akan pernah terlupakan.

**

Chelsea menjemputku tadi pagi. Dan akhirnya kini aku sedang berada di mobil bersamanya. Dia menyetir sambil bernyanyi mengikuti lagu yang terdengar dari radio mobil.

"Aku ke toilet dulu. Jangan kabur!" Aku dan Chelsea telah berada di sekolah. Mungkin, aku baru sampai 1 menit yang lalu. Sesuai dengan permintaan Chelsea, aku menunggunya disini, di samping mobilnya. Seperti apaan coba? Dasar tuh anak!

Wih ada pemandangan buruk barusan lewat. Siapalagi kalau bukan Bagas dan Si Lilly itu. Ya tuhan sabarkan hambamu ini! Oke, aku akan buktikan padanya jika aku tak cemburu padanya. Dia bisa membawa cewek, aku juga bisa membawa cowok. Adil kan?

Tunggu, itu Ryan kan? Oke aku samperin aja.

"Hay." Ucapku saat berada di sampingnya.

"Shilvy? Udah sembuh?"

"Sudah kok Yan."

"Wah, sorry deh kalo gitu. Aku pikir kamu masih sakit."

"Hehe. Wah, kamu mau nya aku sakit terus ya?"

"Gak juga sih."

Aku dan Ryan berjalan sambil terrawa bersama. Ryan itu asyik, gak kayak sih Bagas yang jutek itu! Oh iya, kalo tanya tentang Elang, jangan tanya padaku ya. Aku malas mau membicarakan dia.

Hari ini full sekelas sama Ryan. Hebat. Tapi kenapa Bagas juga sekelas denganku? Bersama Lilly juga. Ah, sial.

"Udah aku bilang tunggu di parkiran!" Chelsea memukulkan tasnya ke lenganku.

"Sorry, gak bermaksud." Aku membalasnya dengan cengiran. Toh, kan aku memang benar gak bermaksud meninggalkan Chelsea.

"Yaudah lah, aku kekelas Fisika dulu. Bye" ucapnya lalu pergi meninggalkanku.

Ryan mana coba? Katanya mau ke lokernya cuman sebentar? Tapi, ini lama banget!

Aku berjalan menyusuri beberapa loker. Saat sampai di loker milik Ryan, orangnya malah gak ada. Wah, kena karmanya Chelsea kali ya. Kok aku di tinggal.

Aku memilih ke kelas Matematika sendiri saja. Mungkin Ryan ada kepentingan mendadak. Saat melewati lapangan outdoor, aku melihat kerumunan manusia disana. Dan yang tidak asing, aku melihat Lilly menangis? Ada apa?

Aku menghampiri kerumunan itu. Berusaha masuk kedalam, tapi susah banget. Dan akhirnya berhasil. Belum selesai aku mengambil nafas, aku tercekat. Bagas? Mengapa Bagas memukuli Ryan? Apakah dia benar Bagas?

Dengan segera aku berlari melindungi Ryan yang sudah memar dimana-mana.

"Mau loe tuh apa sih?" Aku membopong Ryan, tak peduli dengan keterjutan Bagas, atau siapapun itu. Aku hanya ingin menolong Ryan saat ini.

Sesampainya di UKS, aku membersihkan luka Ryan, lalu mengobatinya.

"Shil."

"Hm?"

"Gak seharusnya kamu melakukan ini."

Ngomong apaan coba? Kok dia jadi gini?

"Harus Yan. Aku haris menolongmu."

"Tapi Shil. Bagas gak akan suka kalo kamu menolongku."

"Gak usah bahas Bagas ya. Yang terpenting, kamu sembuh dulu."

"Makasih." Ryan memajukan wajahnya. Dia mencium keningku. Oh god, dia romance banget!

Bagas POV

Aku gak salah lihat kan? Iya kan? Mengapa? Mengapa Shilvy lebih memilih menolong Ryan? Apa dia benar-benar membenciku? Oh tuhan, salah apa lagi hambamu ini?

Aku berjalan menuju UKS. Saat menonjok Ryan tadi, gak sengaja tanganku mengenai gigi Ryan, jadi ada luka. Ya aku tahu itu hanya sedikit, tapi tak apakan aku pergi ke UKS?

Saat memasuki UKS, ada seseorang yang mengatakan itu dengan jelas. Aku tahu itu suara siapa. Apa benar dia membenciku?

"Gak usah bahas Bagas ya. Yang terpenting, kamu sembuh dulu."

Jleb!

Gila, kenapa hatiku sakit. Oh astaga, aku sudah tidak kuat. Saat alu melihat dengan siapa Shilvy disini. Hatiku kembali memanas. Bisa-bisanya Ryan mencium Shilvy? Mengapa Shilvy tak menolak!

Aku langsung pergi saja dari sini, aku sudah muak melihat mereka berdua. Kenapa Shilvy? Kok dia malah tambah dekat dengan Ryan?

Braak

Aku menutup pintu UKS dengan keras.

Oh ya ampun, Lilly dimana? Aku meninggalkannya di lapangan. Dengan segera aku berlari ke lapangan. Tidak mungkin aku meninggalkannya. Ah Bagas, loe gila!

Bagas POV Off

Braak

Aku terkejut ketika ada seseorang yang menutup pintu UKS dengan keras. Dasar orang gak punya kerjaan!

"Ayo kekelas Vy, aku sudah gak papa."

"Eh, jangan dulu deh. Lukamu masih pada memar."

"Aku gak papa Vy. Ayo ke kelas. Aku gak mau kamu bolos karna ngerawat luka kecil kayak gini." Ryan menggenggam tanganku, lalu menariknya.

"Yan, tapi aku takut kamu kenapa-kenapa." Ucapku. Kenapa dia bandel sih. Tadi dia bilang apa? Luka kecil? Kayak gitu luka kecil? Gak punya mikroskop kali ya--'

--

Sorry jadi gak nyambung. Capek nih habis ngeCat kelas =D.

Cayo vomments nya! ;;)

My Arrogant BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang