Third

40.5K 1.4K 4
                                    

Aku mengikuti langkah kaki Bagas yang sangat lebar. Sesekali aku berhenti karna terlalu lelah. Bagas tak menghiraukanku yang berada jauh dari tubuhnya. Bagas terus melangkah. Aku pun tak peduli dia mengetahui aku kelelahan atau tidak. Ketika aku ingin duduk di bangku trotoar, Bagas menoleh ke arahku. "Shilvy, sedikit lagi haltenya sampai" ucapnya. Apakah dia tidak tahu aku sedang kelelahan? Kenapa tadi dia tak berhenti di halte sekolah saja? Dasar Bagas!

"Yayaya" Dengan langkah malas aku mengikuti Bagas yang kini telah kembali berjalan. Tak lama kemudian terlihat halte berwarna biru. Dengan segera aku duduk di bangku halte itu. Bagas mengikutiku dan duduk disebelahku.

"Kau kenapa Shilvy? Lelah?"

"Astaga Bagas! Ini itu sangat jauh dari Jeyung School. Kau berniat mengerjaiku kan? Astaga!" Aku menyandar di tiang halte. Bagas kembali membaca bukunya. Tak mempedulikanku yang sedang marah kepadanya. Tiba-tiba bus tujuan rumahku dan rumah Bagas berhenti di depan halte. Aku dan Bagas menaiki bus tersebut. Aku duduk di dekat jendela bus, Bagas duduk di sebelahku. Dia masih asyik saja dengan bukunya itu. Aku merasa sangat lelah dan aku pun tertidur. Aku merasakan ada yang memindah kepalaku. "Maafin aku ya Vy. Aku gak bermaksud tadi. Love you Vy" aku merasakan bibir Bagas menyentuh puncak kepalaku. Aku tersenyum dengan perlakuan dari Bagas.

**

Aku berdiam diri di kamar. Sejak tadi aku pulang, hingga malam ini, aku tak mau keluar kamar sama sekali. Aku mengunci semua pintu dan jendela kamarku. Aku hanya ingin menyendiri sekarang. Aku takut ketika besok pengumuman aku tidak diterima bagaimana? Huaa Mama Shilvy takut. Aku menghentak-hentakkan kakiku di lantai kamarku. Aku mematikan gadget, laptop, televisi, pokoknya semua alat eletronik di kamar, kecuali lampu dan AC. Aku masih memikirkan besok aku akan diterima atau tidak? Jika tidak diterima, Mama bilang aku akan dipindahkan ke Madrid bersama kakek dan nenek. Aku jelas-jelas tak mau. Apalagi pergi ke Madrid. Bagaimana aku bisa hidup tanpa melihat Bagas 1 hari saja? Oke mungkin kalian berfikir aku lebay atau apalah itu. Tapi aku benar-benar tak bisa hidup jika tidak melihat Bagas 1 hari saja.

Tok.. Tok.. Tok..

Terdengar suara ketukan pintu. Tapi aku tidak menghiraukannya. Aku masih terfokus dalam pikiranku.

"Shilvy, ini Mama" Ternyata itu Mama. Tapi aku tak peduli. Aku masih memutar-mutarkan badanku agar menemukan jawaban yang tepat dari semua pertanyaan yang berputar-putar dipikiranku.

"Shilvy?" Mama masih saja mengetuk pintu kamarku. Aku tetap memutarkan badanku seolah-olah tidak ada yang memanggil namaku.

"Sayang. Are you there?" Kini kudengar suara papa. Tapi aku tak berniat untuk membuka pintu itu sedikitpun.

"Kak. Loe belum makan tahu! Loe mau mati apa?" Teriakan Ryo membuatku berhenti memutarkan badanku. Aku berjalan menuju pintu. Kubuka pintu itu, kulihat papa dan mama sedang memarahi Ryo. Ketika mendengar suara pintu terbuka, papa dan mama langsung menoleh kearahku. Mama dengan segera menuju kearahku. "Ada apa sayang?"

"Tak apa Ma."

"Sayang, ceritalah"

Papa dan Mama kini berada di dalam kamarku. Ryo telah kembali ke kamarnya. "Ceritakan sayang." Ucap papa. Aku masih saja menunduk. Aku tak mau cerita apapun. Tapi jika begini, mau tak mau aku harus menceritakannya pada papa dan mama.

"Ma, Pa"

"Iya?"

"Shilvy beneran pindah ke Madrid ya?"

"Jika kamu tidak diterima di Jeyung School sayang" ucap Papa

"Iya sayang. Kamu kenapa tanya seperti itu? Kamu tidak diterima di Jeyung School?" Tanya Mama.

My Arrogant BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang