Thirteenth

21.3K 900 13
                                    

Bagas POV

Pagi ini seperti biasa, aku menjemput dan mengantar Lilly kesekolah. Sebenarnya semua ini bukan mau ku. Hanya tuhan yang mentakdirkan semua ini.

Setelah aku memakirkan motor, aku dan Lilly berjalan beriringan menuju loker Lilly. Lilly. Dia memang cantik, tapi cantiknya tidak bisa mengalahkan kecantikkan Shilvy. Baik? Sebaik-baiknya Lilly, tetap Shilvy yang paling baik. Tapi, kenapa minggu-minggu ini Shilvy menjauh dariku? Apa aku mempunyai salah?

Aku berjalan melewati kantin. Biasanya, pagi-pagi seperti ini, Shilvy sedang asyik duduk dengan Chelsea. Tetapi, kadang juga ada Ryan. Saat melewati kantin, aku melihat Shilvy sedang melamun. Dia melamun? Tidak seperti biasanya. Aku berhenti berjalan. Aku memperhatikannya. Memang aku beberapa hari ini menjadi stalker dia, tetapi tanpa sepengetahuan Lilly.

"Ngapain di sini? Katanya mau ke gymnasium?" Lilly menarik lenganku. Aku tersentak. Bukannya tadi dia sudah jalan duluan? Ah, sial!

Aku dan Lilly berjalan beriringan menuju gymnasium. Di luar gymnasium sangat sepi. Tidak seperti biasanya yang sangat ramai. Aku dan Lilly memasuki gymnasium tersebut. Sangat sepi. Ada apa sebenarnya dengan pagi ini?

Aku menitipkan tasku pada Lilly. Lilly memilih duduk di kursi penonton paling belakang. Tidak seperti biasanya. Aku mengambil bola, lalu men-dribblenya. Aku men-dribblenya dengan sangat keras. Entah mengapa, aku selalu bermimpi bahwa Shilvy akan pergi. Tapi, toh itu hanya mimpi. Aku berdo'a semoga tidak menjadi kenyataan.

Bel berbunyi dengan keras. Aku mengajak Lilly untuk masuk kelas, tapi dia menolak. Aku pamit, lalu segera pergi menuju kelas. Di kelas, aku tidak bisa mendengar penjelasan guru. Pikiranku kemana-mana.

Saat jam kedua, Lilly menelponku, dia bilang, penyakitnya kambuh. Aku dengan segera menuju gymnasium. Ternyata anak itu tidak kembali dari gymnasium sejak tadi.

Sesampainya di gymnasium, aku melihat Lilly memegangi perutnya. Mungkin penyakitnya kambuh. Dengan sedikit berlari aku menuju ke arahnya.

"Ada apa?" Ucapku.

"Bagas?"

"Iya."

"Kamu datang?"

"Kamu kenapa sih? Barusan sakit, sekarang kok sudah gak? Apa jangan-jangan kamu menipuku?"

"Hehe, iya."

"Mau kamu apa sih?" Ucapku setengah berteriak. Dia memasang baby facenya, tapi aku tidak terpengaruh dengan itu.

"Aku cuman mau kamu Bagas." Dengan senyum yang melekat dari bibirnya, Lilly mendekatiku.

"Lilly, denger ya. Aku gak akan pernah menyukaimu. Kamu hanya kuanggap sebagai adikku."

"Tapi, aku tidak pernah menganggap kamu itu kakakku. Kamu milikku, hanya milikku." Lilly memelukku erat.

"Lepaskan." Aku mencoba melepaskan pelukan itu, tapi Lilly menambah erat pelukan itu.

"Bagas." Lirih seseorang. Aku menengok kearah pintu gymnasium. Disana ada seseorang yang sangat aku cintai. Dia menangis? Apa jangan-jangan dia melihat kejadian barusan?

Dia berjalan kearahku. Deras air mata itu semakin terlihat. Apa yang aku lakukan? Kenapa aku membuatnya menangis?

"Ini yang mau loe tunjukkan? Jadi selama ini kalian berdua berpacaran di belakangku? Apa salahku? Kenapa kau tidak putuskan aku saja Bagas? Kenapa? Kenapa kamu lebih memilih untuk bersamanya di belakangku? Apa yang sudah kalian lakukan di belakangku? KITA PUTUS!" Dia membentakku, lalu menamparku. Kenapa dia menyimpulkan jika aku memiliki hubungan dengan Lilly? Lalu, aku tidak menyuruhnya mendatangi gymnasium. Siapa yang menjebaknya?

"Shilvy." Teriakku. Aku berulang kali meneriakinya, tapi dia tidak menoleh sedikitpun ke arahku. Aku mencoba untuk mengejarnya, tetapi Lilly menahan lenganku. Apa dalang dari semua ini Lilly? Kenapa dia melakukannya?

"Loe kan dalang dari semuanya? Mendingan, dari sekarang loe pergi jauh dari gue!" Aku menghempaskan tangannya. Aku tak habis pikir, kenapa dia melakukan ini? Seharusnya dari awal aku tidak mengikuti permainan Lilly. Aku salah, aku salah selama ini mendiamkan Shilvy!

Pikiranku masih kemana-mana. Aku berharap bel pulang akan cepat berbunyi. Tak lama kemudian, bel tanda pulang berbunyi dengan kerasnya. Aku segera bangkit, meninggalkan kelas ini.

Aku berlari menuju loker Shilvy, tetapi aku hanya menemui Chelsea.

"Chel, Shilvy mana ya?" Tanyaku.

"Emang siapa loe? Pacar bukan!" Ucap Chelsea ketus, lalu pergi meninggalkanku.

Memangnya Shilvy benar-benar memutuskanku? Kenapa rasanya begitu sakit?

Aku berlari menuju halaman parkir. Dengan segera aku mengendarai motorku. Aku harus ke rumah Shilvy. Harus.

Selama perjalanan kerumah Shilvy, pikiranku campur aduk. Apa yang harus kukatakan pada Shilvy? Apa nantinya perkataanku benar? Apa malah membuat Shilvy sakit hati? Aku mengetuk rumah Shilvy. Tapi, mengapa tak ada yang membuka pintunya?

"Kak Bagas?" Aku mendengar suara Ryo. Dengan segera aku membalikkan badan. Ternyata disana sedang berdiri Ryo dengan sepedanya.

"Kak Bagas nyari Kak Shilvy?" Pertanyaannya tepat sekali. Aku mengangguk.

"Kak Shilvy baru saja pergi dengan Kak Ryan, apa Kak Bagas tak melihatnya?" Ryan? Shilvy pergi dengan Ryan? Kenapa rasanya aku sakit hati? Apa perasaan ini yang selalu Shilvy rasakan jika melihatku pergi dengan Lilly?

Tanpa babibu, aku perfi meningglkan rumah Shilvy. Aku memasuki kamarku. Berbaring di ranjang, sepertinya menyenangkan. Aku melepas bajuku, lalu menggantinya dengan kaus. Aku membaringkan tubuhku, lalu meraih boneka berbentuk monyet, yang Shilvy berikan padaku ketika ulang tahunku yang ke 14.

Hari yang sangat berat. Aku menatap langit-langit kamar. Apa masih bisa aku dan Shilvy bersatu? Aku harap, Shilvy mengasih kesempatan padaku. Aku harap, dia tidak pernah melupakanku. Melupakan perasaan apa yang dia punya untukku.

Bagas POV Off

My Arrogant BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang